Hujan
By Lutfiah Setyo .C
Ps : ini bukan cerita yang bakal ada klimaksnya. Ini sekadar penuturan dari maksud ceritanya.
...
Bukan masalah waktu yang kau bicarakan. Kau tak pernah memedulikan waktu, sekarang, esok, atau lusa. Kau tak pernah memedulikan itu. Karena, bagimu tidak selamanya kita akan memanfaatkan waktu. Yang kau bicarakan hanya satu, fakta. Kau tahu, sangat tahu bahwa tak ada fakta yang buka suara. Biarkan segalanya menunggu waktu, waktu, dan waktu. Bahkan, tak ada pula yang tahu menunggu waktu itu seperti apa.
Kau suka pembicaran itu, mengenai fakta. Namun, kau tak pernah menyukai jika kita akan mengungkit waktu sebagai sarana alternatif untuk pemecahan masalah. Aku tahu ideologimu tinggi. Segala pembicaraan yang berbuah filosofi selalu membantingku jatuh, membuatku berpikir bahwa kau dan aku berbeda kalangan. Dan kemudian kau akan sadar untuk berkata bahwa kita sama, sejajar. Kita mencinta satu sama lain dengan pergerakan hati dan batin yang sama. Kita bercinta dengan pergerakan naluri dan hewani yang sama. Kita mengutarakan kata cinta dengan pengejaan yang sama, bahkan terkadang kau membiarkan bibir ini bersatu hanya untuk membuahkan "Aku mencintaimu," dan tak henti untuk menyengatku dalam sensasi yang menghangatkan. Namun, itu arti sama bagimu, bukan bagiku. Dan, tentu saja masing - masing dari kita tak terlalu memedulikan itu.
Kita jatuh cinta satu sama lain, akan tetapi kita berdebat untuk pembelaan yang berbeda. Kau menyukai fakta, aku terkesan dengan penuturan waktu. Kau seolah memujanya, aku hanya berkata bahwa itu benar. Kau yang seolah terlibat rasa fanatisme dan aku hanya sekadar berkata "iya, benar". Dan pada akhirnya tetap sama saja, kita jatuh cinta satu sama lain.
Dunia bagimu bukan tempat untuk memelas rasa empati orang lain. Padahal, kita selalu mengasihani satu sama lain, namun itu bukan empati dari orang lain. Kau dan aku satu, tak ada masalah dengan itu. Mengasihani diri sendiri terlihat normal di mata kita, mencintai diri sendiri terlihat bijak di mata kita, menawarkan sensasi mahal kepada orang lain itu hal hina, tapi kita bukan orang lain, kita diri sendiri.
Aku mencintaimu tanpa ego yang salah, kau mencintaiku tanpa andil yang berbeda. Kita mengerti bagaimana cara bersikap mencinta. Bukan dengan mengumbar status sosial media ataupun berkata terang - terangan seperti menyebarkan berita yang pantas dibanggakan. Aku dan kamu tak pernah bangga atas penuturan "aku punya pacar," yang terkesan berlebihan. Kita bangga atas satu hal yang sama, bahwa kenyataannya kita memiliki satu sama lain.
Kita menyukai satu hal yang berbeda, fakta dan waktu. Namun, kita memiliki ketertarikan yang sama. Ketertarikan atas air yang bergerak dengan sensasi melepaskan, hujan. Kita pula sadar bahwa hujan memiliki fakta untuk terjadi dan memiliki waktu untuk diakhiri, namun tak pernah ada pengutaraan tentang itu.
Bagimu dan bagiku sama, hujan membawa satu suratan takdir yang terjalani atas dua mahakarya tuhan yang bersatu. Bersatu dengan hati, bersatu dengan pergerakan kulit masing - masing, bersatu dengan tatap mata yang berbeda warna namun satu arti.
Kita bukan anak remaja yang memiliki rasa terkesan yang dibutakan menjadi cinta. Cinta itu murni, mengalir bersama seirama tanpa genggaman yang pasti, namun tak akan pernah bisa terbebaskan dari rengkuhan masing - masing. Dan begitupula kita, kita mencinta dengan konteks yang murni. Memandang satu sama lain semurni yang mampu kita yakini, entah seberapa besar yakin kita atas satu sama lain. Kita tahu, diri ini murni, bukan sekadar angan - angan semu.
Namun, kita memiliki rahasia tersendiri, rahasia yang sama arti. Sejujurnya hanya ada satu alasan yang menarik keterkaitan kita atas hujan. Yaitu, hujan memiliki fakta dan bergantung pada waktu. Seperti kita, memiliki fakta untuk saling mencinta dan memiliki waktu untuk saling bersama. Dan kita tertegun untuk satu hal yang pasti, prediksi kita akan sesuatu meleset begitu cepat ternyata.
Cinta kita itu murni, tak memerlukan fakta untuk mengungkapkan "kenapa", dan tak memerlukan waktu untuk bertanya "kapan". Kita saling mencinta selamanya, sampai mati.
......
Gaje bgt dah ini. Seharusnya gue gak bikin beginian yang terlalu banyak kata "cintacintacinta", akhirnya bikin yang alay kayak begini kan-_-.
Selasa, 30 Desember 2014
Rabu, 24 Desember 2014
Canidae, Bergerak ke Timur
By Lutfiah Setyo .C
Dalam beberapa bagian akan ada kesimpulan :'...' Kau
"...." Aku
Dalam percakapan, keduanya pasti menggunakan "..."
---
Akuilah pesan yang tak sampai ini, rasa yang mengukuh dalam diri ini. Tak mampu mengutarakan lebih, hanya sekadar telaga dalam hati ini. Telaga yang kian mati, telaga yang menghantarkanmu ke siksaku, aku tersiksa.
--
Dahulu kau berkata, terus membenak takkan pernah hilang. Tak akan pernah. "Aku ingin menjadi makhluk berbulu seperti itu. Tubuhnya oranye dengan bulu putih bersih di sekitar pangkal lehernya. Rubah, canidae, vulpes."
Kuketahui setiap rinci hidupmu, kuketahui denyut nadimu, denyut yang mengintimidasiku di tiap detiknya. Kuketahui pergerakan baik-burukmu. Dan, kutahu otakmu sangat rumit. Pemikiran yang tidak seharusnya pada usia itu, membuatmu terlihat berpikir keras, terlihat sepuluh tahun lebih tua daripada usiamu saat ini, membuatku berkata pada saat itu kau terlihat lucu. Dulu, kau adalah sosok yang humoris. Namun, saat kemalangan menimpamu beruntun, dan tak menyisakan satupun tempat 'tuk bersimbah bagimu, 'tuk mengurai tangis dan derai tawa. Sosok itu pergi, meninggalkanku sendiri.
"Lusa lalu, aku akan berburu ke hutan. Di dekat padang, seekor rubah datang. Di belakangku. Tepat di belakangku. Hutan di utara, beberapa meter jauhnya. Namun, ketika langkahku tinggal beberapa, rubah itu berhenti. Bergerak ke timur, 45 derajat bertolak dariku. Itu aneh, bagiku," karna kuyakin kau akan melanjutkan. Dan, pasti membuahkan sebuah filosofi yang tak kumengerti.
Kau tak peduli aku mengerti atau tidak. Bagimu, aku sudah duduk di sampingmu dan mendengar tanpa sedikit pun membantah itu sudah cukup. Kau tahu aku selalu memasang garis wajah yang tertarik, seolah mengikuti arus kisahmu. Namun, bagimu itu sudah cukup. Aku tak pernah melewatkan satu katapun, walaupun terkadang itu tak menarik, terkesan terlalu muluk, aku tak pernah suka itu. Aku menyukai hal yang lugas. Akan tetapi tak akan pernah aku mengatakan itu di hadapanmu. Bukan karena aku akan melukai hatimu ketika kau sadar kisahmu tak cukup menarik untukku, tapi karena aku dan kamu tahu, kita tahu bahwa hidupmu terlampau muluk. Sama sekali tak lugas, dan itu menyiksaku ketika aku harus mengakuinya.
"Lalu, apa masalahnya?" Aku berusaha mungkin mengikuti arus pergerakanmu, namun takkan pernah bisa. Otakmu rumit, pola pikirmu menggugah, katawimu membelenggu siksa. Aku tak pernah seimbang dengan itu. Kita berbeda, masing - masing dari kita tahu itu. Aku hanyalah seseorang yang mengukur hidupnya di kandang kuda desa. Berbeda denganmu yang mampu berinteraksi dengan alam tanpa perlu takut ada yang melarangmu. Kau bebas, dan aku tidak.
'Namun, jika kau tahu. Akulah yang terkukung sandiwara hidup ini. Akulah yang terpenjara, kau tidak. Aku kuda itu, kau alamnya. Namun kau tak pernah menyadari. Kutahu kau tak pernah memandangku sebagai sosok yang tersiksa, sendiri. Tapi kumohon, akui sekali saja, harus ada yang mengerti luka ini. Kumohon.'
"Rubah mampu bertahan dengan baik, ia memakan segalanya. Ia juga sosok yang kuat, namun itu aneh. Rubah yang mengekoriku saat itu takut dengan rumahnya. Takut akan rimba," kau menjawab lugas, kali ini. Dan aku mulai benar - benar tertarik.
"Banyak hal yang memiliki ketakutannya sendiri, bukan?" Balasku.
"Apa kau takut dengan kuda?"
"Bagaimana mungkin, itu belahan jiwaku," tandasku, kupikir dengan menyelipkan beberapa gurauan kecil akan menghangatkan atmosfer di sekitar kita. Tapi tidak, wajahmu terlampau serius untuk waktu yang seharusnya kita habiskan 'tuk berbincang singkat. Atau memang selera humorku tak sebaik dirimu. Entahlah.
"Sama seperti rubah itu. Aneh ketika itu membalik dari alamnya, rumahnya,"
"Mungkin suatu saat perkara akan membawaku takut pada kuda, seperti rubah itu,"
"Mungkin," setelahnya kau diam. Hening. Hening yang tak biasa, hening yang tak kusuka.
Aku tersadar akan sesuatu, kau tak membalas. Tidak seperti biasa. Kau tak pernah suka ada seseorang yang mengganggu imajimu akan sesuatu.
'Namun ini bukan imaji.'
--
Akuilah sakit ini, sakit yang kian membelenggu kita dalam sunyi. Akuilah nestapa ini, nestapa yang memberengut kebersamaan dua insan tanpa hati. Akuilah, akuilah segala yang menghimpit poros hidup ini. Percayakan takdir pada mahakuasa, bukan karena kita yakin sesuatu akan menjadi manis di kemudian hari. Namun, karena kita tersadar bahwa dalam diri ini tak satupun bagian yang mampu menghalau akhir.
--
Pagi ini terkesan liar, dan aku tak menyukainya. Sesuatu terasa berbeda, aneh, asing. Seperti dalam beberapa keadaan kau ingin menangis namun tak mengerti alasan tertentunya. Penglihatan ini kian memburuk, tiap langkah yang kuajukan tak satupun memberikan kepastian kemana kaki ini akan melangkah. Segalanya terlihat delusif dan tak kokoh.
Aku berjalan menyusuri perumahan yang segalanya nampak normal. Tidak aneh. Namun, aku merasa berbeda. Liar.
Kandang kuda kali ini terlihat tenang, bahkan Mr. Isaac pemilik kandang kuda tak menyapaku dalam konteks lain, sarkastik. Aku senang mungkin.
Keadaan yang melewati batasnya akan memberikan ketakutan tersendiri dalam tiap subjeknya. Tenang yang terkesan terlalu dibuat - buat kini menggangguku, risih. Sampai matahari mencapai pokoknya, ketika aku dapat pulang dan berkisah denganmu segalanya terlampau muluk, padahal aku suka hal yang lugas 'kan?
Saat itu kau memunggungiku. Kantong anak panah menegapkan bahumu yang bidang. "Kau akan berburu?" Tanyaku tiba - tiba, mengejutkanmu dan membuatmu segera berbalik.
"Ya," jawabmu.
"Aku ikut," pintaku terkesan mendadak.
Kau mengerti aku tak pernah memiliki kaitan baik dengan alam atau segala hal yang menyangkut selain kuda. Kau menggeleng, "aku tak akan menempatkan diriku dalam bahaya ketika harus membopongmu pulang hanya karena ketakutan."
"Hei, aku tak separah itu," tandasku geli.
"That's you are,"
Kau melangkah akan melewatiku. Secara reflek yang melekat entah dari mana, segalanya berputar hebat dalam otakku, otakku tak rumit bukan?
Bibirnya basah. Aku mengecupnya. Singkat, sangat singkat. Ia tak terlihat protes atau bagaimana, seperti maklum. Rasa liar itu kian hebat, seperti ada hewan dalam diriku yang ingin menganjal keluar. Kuyakin kini, alam mampu berkata. Tak ada interaksi yang baik antar aku dan alam, namun kini ia berkata, menjelaskanku sebuah rasa yang harus kupahami sebelum segalanya terlampau jauh, tertinggal untuk disesali.
"Cepat pulang," lirihku tak tertahan. Aneh. Aneh.
Suatu hari aku meyakinkan diriku bahwa kisah lama tak kembali terulang, aku selalu ingin meyakinkan itu. Ketika aku tersadar kau membisikkan sesuatu, nada gusar terselip di sana, "canidae, canidae."
--
Akuilah jejak yang kian renta ini. Akuilah surut kebebasan yang kian menjadi ini. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Bebas, berarti mati. Hidup adalah penjara. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Kita memandang langit dengan sebelah mata. Kita menghitung penjuru dengan jari yang salah. Karena kita satu, akuilah.
---
Liar itu tak pernah surut. Tak menyiksa secara intim memang, namun mengganggu sampai belahan jantungku.
Aku berlari, kencang, sangat kencang. Menembus batang cakrawala, menghiraukan segala aksara. Liar itu menggeram, membubungku tinggi, menembus kegelisahan yang kian menjadi. Aku ingin menggeram kencang, namun seluruh suara hilang tertelan jauh, seperti termakan perut sendiri.
Langkah ini tepat menuju utara, untuk membelah hutan dan menggenggam liar itu secara naluriah. Namun alam tak pernah tergenggam, ia yang menggenggam.
Di padang itu segalanya sunyi, menakutkan. Kisahmu. Aku teringat, kisahmu.
Dengan gerakan yang kasar, aku membalik, menemukan seekor rubah membuntutiku di pusat padang. Matanya mengecil seolah menahan jerit. Ia berlari, seekor rubah memutar arahnya, 45 derajat berbeda dari utara. Bergerak ke timur. 'Canidae, canidae.'
Dan kini aku yang berganti membuntutinya. Pasokan udara terasa menipis, menghilang dalam muka bumi. Aku terjatuh, terjerembap, menangis, tersedu. Memukul tanah padang yang segar. Aku terjatuh, seolah tertelan perut bumi. Segalanya berputar.
Dan kini pesan itu sampai, sunyi, darimu.
Rubah itu datang, menempatkan sisinya di sampingku. Menghadapku, bola matanya menatapku hebat, kencang, erat.
Oh, bahkan aku sudah tak lagi memedulikan mana logika mana bukan, segalanya terlihat kacau. Di mata itu, aku mengenggam liarnya, atau bahkan tergenggam.
Kau hilang, hilang begitu saja. Menyisakanku yang menangis. Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa memberiku bekal untuk mengerti alam secara baik dan konstan. Kau tak menjemputku dalam relung sendiri ini. Biarkan aku yang membunuh kita, jarak antar kita. Biarkan aku yang menembus penggalan memori dalam kilatan mata. Biarkan aku yang mati, karena dengan itu aku bisa bebas.
Kau tak pernah mengerti. Aku terjebak, terperangkap, tersandera oleh sandiwara cinta yang tidak bermuka. Berhenti berkata kau yang sendiri, akulah. Aku yang sendiri. Tak peduli keluarga ada atau tiada, hidupku sendiri. Sangat sendiri, sangat sunyi. Dan sayangnya kau tak pernah mengerti.
Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi diam dan menerima. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi tersiksa. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi kecewa. Kau curang, tidak membiarkanku bersedih dalam satu kata. Kau curang, sangat curang.
Dan kini, aku akan menentang. Aku tak akan diam dan menerima. Aku tak akan tersiksa. Aku tak akan kecewa. Kutumpahkan segala sedih itu dalam tangis diam. Tangis yang hebat. Aku menggeram, membelenggu senja yang kian menarikku. Menarikku menuju kelam yang panjang, untuk bersamamu.
Kau mati, aku mati, karena kita satu.
---
'Ikuti alam, mereka mampu berbicara dalam konteks yang berbeda. Mereka mampu mengutarakan kata yang lebih hebat dari seorang filsafat sekalipun. Karena bahkan filsafat belajar pada alam, mereka mengerti alam'
Fin
Oke, ini absurd dan gak jelas banget. Niat awalnya gak mau kayak gini, eh tapi karena nafsu pengen cepet selesai, jadilah maksa kayak gini. Padahal pengen bikin angst gitu, tapi gabisa adeh.
Pengen punya akun ffn, tapi belum ngerti caranya. Udah punya sih, tapi belum bisa ngepostnya. Dan akhirnya cuma bisa jadi silent reader dan kadang - kadang review kalau lagi engga mager.
Terakhir, di post ini, gue nyelipin beberapa lirik dari lagu rectoverso yang firasat walaupun isinya beda, tapi intinya sama, dan nidji takut bilang tidak yang ost. Supernova. Pengennya bikin interaksi sama alam yang lebih mendalem, tapi masih gabisa.
By Lutfiah Setyo .C
Dalam beberapa bagian akan ada kesimpulan :'...' Kau
"...." Aku
Dalam percakapan, keduanya pasti menggunakan "..."
---
Akuilah pesan yang tak sampai ini, rasa yang mengukuh dalam diri ini. Tak mampu mengutarakan lebih, hanya sekadar telaga dalam hati ini. Telaga yang kian mati, telaga yang menghantarkanmu ke siksaku, aku tersiksa.
--
Dahulu kau berkata, terus membenak takkan pernah hilang. Tak akan pernah. "Aku ingin menjadi makhluk berbulu seperti itu. Tubuhnya oranye dengan bulu putih bersih di sekitar pangkal lehernya. Rubah, canidae, vulpes."
Kuketahui setiap rinci hidupmu, kuketahui denyut nadimu, denyut yang mengintimidasiku di tiap detiknya. Kuketahui pergerakan baik-burukmu. Dan, kutahu otakmu sangat rumit. Pemikiran yang tidak seharusnya pada usia itu, membuatmu terlihat berpikir keras, terlihat sepuluh tahun lebih tua daripada usiamu saat ini, membuatku berkata pada saat itu kau terlihat lucu. Dulu, kau adalah sosok yang humoris. Namun, saat kemalangan menimpamu beruntun, dan tak menyisakan satupun tempat 'tuk bersimbah bagimu, 'tuk mengurai tangis dan derai tawa. Sosok itu pergi, meninggalkanku sendiri.
"Lusa lalu, aku akan berburu ke hutan. Di dekat padang, seekor rubah datang. Di belakangku. Tepat di belakangku. Hutan di utara, beberapa meter jauhnya. Namun, ketika langkahku tinggal beberapa, rubah itu berhenti. Bergerak ke timur, 45 derajat bertolak dariku. Itu aneh, bagiku," karna kuyakin kau akan melanjutkan. Dan, pasti membuahkan sebuah filosofi yang tak kumengerti.
Kau tak peduli aku mengerti atau tidak. Bagimu, aku sudah duduk di sampingmu dan mendengar tanpa sedikit pun membantah itu sudah cukup. Kau tahu aku selalu memasang garis wajah yang tertarik, seolah mengikuti arus kisahmu. Namun, bagimu itu sudah cukup. Aku tak pernah melewatkan satu katapun, walaupun terkadang itu tak menarik, terkesan terlalu muluk, aku tak pernah suka itu. Aku menyukai hal yang lugas. Akan tetapi tak akan pernah aku mengatakan itu di hadapanmu. Bukan karena aku akan melukai hatimu ketika kau sadar kisahmu tak cukup menarik untukku, tapi karena aku dan kamu tahu, kita tahu bahwa hidupmu terlampau muluk. Sama sekali tak lugas, dan itu menyiksaku ketika aku harus mengakuinya.
"Lalu, apa masalahnya?" Aku berusaha mungkin mengikuti arus pergerakanmu, namun takkan pernah bisa. Otakmu rumit, pola pikirmu menggugah, katawimu membelenggu siksa. Aku tak pernah seimbang dengan itu. Kita berbeda, masing - masing dari kita tahu itu. Aku hanyalah seseorang yang mengukur hidupnya di kandang kuda desa. Berbeda denganmu yang mampu berinteraksi dengan alam tanpa perlu takut ada yang melarangmu. Kau bebas, dan aku tidak.
'Namun, jika kau tahu. Akulah yang terkukung sandiwara hidup ini. Akulah yang terpenjara, kau tidak. Aku kuda itu, kau alamnya. Namun kau tak pernah menyadari. Kutahu kau tak pernah memandangku sebagai sosok yang tersiksa, sendiri. Tapi kumohon, akui sekali saja, harus ada yang mengerti luka ini. Kumohon.'
"Rubah mampu bertahan dengan baik, ia memakan segalanya. Ia juga sosok yang kuat, namun itu aneh. Rubah yang mengekoriku saat itu takut dengan rumahnya. Takut akan rimba," kau menjawab lugas, kali ini. Dan aku mulai benar - benar tertarik.
"Banyak hal yang memiliki ketakutannya sendiri, bukan?" Balasku.
"Apa kau takut dengan kuda?"
"Bagaimana mungkin, itu belahan jiwaku," tandasku, kupikir dengan menyelipkan beberapa gurauan kecil akan menghangatkan atmosfer di sekitar kita. Tapi tidak, wajahmu terlampau serius untuk waktu yang seharusnya kita habiskan 'tuk berbincang singkat. Atau memang selera humorku tak sebaik dirimu. Entahlah.
"Sama seperti rubah itu. Aneh ketika itu membalik dari alamnya, rumahnya,"
"Mungkin suatu saat perkara akan membawaku takut pada kuda, seperti rubah itu,"
"Mungkin," setelahnya kau diam. Hening. Hening yang tak biasa, hening yang tak kusuka.
Aku tersadar akan sesuatu, kau tak membalas. Tidak seperti biasa. Kau tak pernah suka ada seseorang yang mengganggu imajimu akan sesuatu.
'Namun ini bukan imaji.'
--
Akuilah sakit ini, sakit yang kian membelenggu kita dalam sunyi. Akuilah nestapa ini, nestapa yang memberengut kebersamaan dua insan tanpa hati. Akuilah, akuilah segala yang menghimpit poros hidup ini. Percayakan takdir pada mahakuasa, bukan karena kita yakin sesuatu akan menjadi manis di kemudian hari. Namun, karena kita tersadar bahwa dalam diri ini tak satupun bagian yang mampu menghalau akhir.
--
Pagi ini terkesan liar, dan aku tak menyukainya. Sesuatu terasa berbeda, aneh, asing. Seperti dalam beberapa keadaan kau ingin menangis namun tak mengerti alasan tertentunya. Penglihatan ini kian memburuk, tiap langkah yang kuajukan tak satupun memberikan kepastian kemana kaki ini akan melangkah. Segalanya terlihat delusif dan tak kokoh.
Aku berjalan menyusuri perumahan yang segalanya nampak normal. Tidak aneh. Namun, aku merasa berbeda. Liar.
Kandang kuda kali ini terlihat tenang, bahkan Mr. Isaac pemilik kandang kuda tak menyapaku dalam konteks lain, sarkastik. Aku senang mungkin.
Keadaan yang melewati batasnya akan memberikan ketakutan tersendiri dalam tiap subjeknya. Tenang yang terkesan terlalu dibuat - buat kini menggangguku, risih. Sampai matahari mencapai pokoknya, ketika aku dapat pulang dan berkisah denganmu segalanya terlampau muluk, padahal aku suka hal yang lugas 'kan?
Saat itu kau memunggungiku. Kantong anak panah menegapkan bahumu yang bidang. "Kau akan berburu?" Tanyaku tiba - tiba, mengejutkanmu dan membuatmu segera berbalik.
"Ya," jawabmu.
"Aku ikut," pintaku terkesan mendadak.
Kau mengerti aku tak pernah memiliki kaitan baik dengan alam atau segala hal yang menyangkut selain kuda. Kau menggeleng, "aku tak akan menempatkan diriku dalam bahaya ketika harus membopongmu pulang hanya karena ketakutan."
"Hei, aku tak separah itu," tandasku geli.
"That's you are,"
Kau melangkah akan melewatiku. Secara reflek yang melekat entah dari mana, segalanya berputar hebat dalam otakku, otakku tak rumit bukan?
Bibirnya basah. Aku mengecupnya. Singkat, sangat singkat. Ia tak terlihat protes atau bagaimana, seperti maklum. Rasa liar itu kian hebat, seperti ada hewan dalam diriku yang ingin menganjal keluar. Kuyakin kini, alam mampu berkata. Tak ada interaksi yang baik antar aku dan alam, namun kini ia berkata, menjelaskanku sebuah rasa yang harus kupahami sebelum segalanya terlampau jauh, tertinggal untuk disesali.
"Cepat pulang," lirihku tak tertahan. Aneh. Aneh.
Suatu hari aku meyakinkan diriku bahwa kisah lama tak kembali terulang, aku selalu ingin meyakinkan itu. Ketika aku tersadar kau membisikkan sesuatu, nada gusar terselip di sana, "canidae, canidae."
--
Akuilah jejak yang kian renta ini. Akuilah surut kebebasan yang kian menjadi ini. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Bebas, berarti mati. Hidup adalah penjara. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Kita memandang langit dengan sebelah mata. Kita menghitung penjuru dengan jari yang salah. Karena kita satu, akuilah.
---
Liar itu tak pernah surut. Tak menyiksa secara intim memang, namun mengganggu sampai belahan jantungku.
Aku berlari, kencang, sangat kencang. Menembus batang cakrawala, menghiraukan segala aksara. Liar itu menggeram, membubungku tinggi, menembus kegelisahan yang kian menjadi. Aku ingin menggeram kencang, namun seluruh suara hilang tertelan jauh, seperti termakan perut sendiri.
Langkah ini tepat menuju utara, untuk membelah hutan dan menggenggam liar itu secara naluriah. Namun alam tak pernah tergenggam, ia yang menggenggam.
Di padang itu segalanya sunyi, menakutkan. Kisahmu. Aku teringat, kisahmu.
Dengan gerakan yang kasar, aku membalik, menemukan seekor rubah membuntutiku di pusat padang. Matanya mengecil seolah menahan jerit. Ia berlari, seekor rubah memutar arahnya, 45 derajat berbeda dari utara. Bergerak ke timur. 'Canidae, canidae.'
Dan kini aku yang berganti membuntutinya. Pasokan udara terasa menipis, menghilang dalam muka bumi. Aku terjatuh, terjerembap, menangis, tersedu. Memukul tanah padang yang segar. Aku terjatuh, seolah tertelan perut bumi. Segalanya berputar.
Dan kini pesan itu sampai, sunyi, darimu.
Rubah itu datang, menempatkan sisinya di sampingku. Menghadapku, bola matanya menatapku hebat, kencang, erat.
Oh, bahkan aku sudah tak lagi memedulikan mana logika mana bukan, segalanya terlihat kacau. Di mata itu, aku mengenggam liarnya, atau bahkan tergenggam.
Kau hilang, hilang begitu saja. Menyisakanku yang menangis. Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa memberiku bekal untuk mengerti alam secara baik dan konstan. Kau tak menjemputku dalam relung sendiri ini. Biarkan aku yang membunuh kita, jarak antar kita. Biarkan aku yang menembus penggalan memori dalam kilatan mata. Biarkan aku yang mati, karena dengan itu aku bisa bebas.
Kau tak pernah mengerti. Aku terjebak, terperangkap, tersandera oleh sandiwara cinta yang tidak bermuka. Berhenti berkata kau yang sendiri, akulah. Aku yang sendiri. Tak peduli keluarga ada atau tiada, hidupku sendiri. Sangat sendiri, sangat sunyi. Dan sayangnya kau tak pernah mengerti.
Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi diam dan menerima. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi tersiksa. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi kecewa. Kau curang, tidak membiarkanku bersedih dalam satu kata. Kau curang, sangat curang.
Dan kini, aku akan menentang. Aku tak akan diam dan menerima. Aku tak akan tersiksa. Aku tak akan kecewa. Kutumpahkan segala sedih itu dalam tangis diam. Tangis yang hebat. Aku menggeram, membelenggu senja yang kian menarikku. Menarikku menuju kelam yang panjang, untuk bersamamu.
Kau mati, aku mati, karena kita satu.
---
'Ikuti alam, mereka mampu berbicara dalam konteks yang berbeda. Mereka mampu mengutarakan kata yang lebih hebat dari seorang filsafat sekalipun. Karena bahkan filsafat belajar pada alam, mereka mengerti alam'
Fin
Oke, ini absurd dan gak jelas banget. Niat awalnya gak mau kayak gini, eh tapi karena nafsu pengen cepet selesai, jadilah maksa kayak gini. Padahal pengen bikin angst gitu, tapi gabisa adeh.
Pengen punya akun ffn, tapi belum ngerti caranya. Udah punya sih, tapi belum bisa ngepostnya. Dan akhirnya cuma bisa jadi silent reader dan kadang - kadang review kalau lagi engga mager.
Terakhir, di post ini, gue nyelipin beberapa lirik dari lagu rectoverso yang firasat walaupun isinya beda, tapi intinya sama, dan nidji takut bilang tidak yang ost. Supernova. Pengennya bikin interaksi sama alam yang lebih mendalem, tapi masih gabisa.
Langganan:
Postingan (Atom)