Aku tak peduli pada bagian tergelap bumi
Ketika jiwa jiwaku bahkan sudah tak dihuni
Aku tak peduli pada kekejaman batin
Ketika sukma ini tak lagi dipimpin
Dari seluruh pengetahuanku,
Hanya satu yang terkutu, mengapa dunia ini sangat elok jika dibanding neraka?
Mengapa surga itu sangat menawan ketika berbanding dunia? Dan mengapa neraka selalu dianggap siksaan, padahal dunia telah kau jadikan siksaan?
Berpikir itu rumit
Karena otakmu hanya tahu yang namanya teori
Berkata itu berbelit
Ketika yang kau tahu hanyalah sejarah histori
Seharusnya kau mengerti,
Aku menunggu sampai cinta ini mati
----------------
"Yang saya tahu, hanya orang jahat yang bakal berbuat kejahatan. Nyatanya orang teladan bisa melakukannya. Ketika hasrat hewani mereka mengerat, dan apapun bakal mereka lakukan cuma buat uji percobaan. Eh, keliru. Kalau orang teladan bisa ngelakuin kejahatan, sama aja 'kan dia kayak orang jahat lainnya,"
Aku mengenalnya ketika animoku masih bergelayung di atas senja. Di saat senyawa tak bergemuruh membentuk suatu unsur, ia berani mengungkit hal tabu di mataku. Dengan kacamata minusnya, ia berbicara seolah dunia bukan hal yang mistis untuk berbagi rahasia. Entah harus kuyakini ia dari mana, "nama saya Samudra," dan kemudian ia bergelut dengan metaforanya, menceritakan aibnya -yang hanya diumbar kepadaku-
"Kedua orang tua saya adalah ilmuwan, sepasang ilmuwan. Ilmuwan yang bakal nguji segala ilmu yang mereka pikirkan. Saya tanya sama kamu, apa keren jadi anak sepasang ilmuwan?"
Jawabanku terdengar lunglai dan tak mendasar di telinganya, seolah aku sangat sentimental, "Keren, apa - apa kamu bisa nanya aja 'kan," dan saat itu ia menggeleng.
"Kalau kayak gitu sih baru keren. Tapi jadi anak percobaan, itu nggak keren," suaranya mengambang bagai atom - atom yang berkeliaran. Kala itu, matanya bernaung lakasana raja singgasana, alisnya mengangkat layak Zeus dengan petirnya, pesonanya redup termakan kilau Aphrodite. "Mau tahu?" Timpalnya, dan aku mengangguk.
"Ayah dan ibu saya, mereka mengukur keterkaitan diri masing - masing sebagai 'kebutuhan', mengasumsikannya sesuai penuturan Aristoteles, "Manusia adalah makhluk sosial", dengan itu mereka harus saling berhubungan. Dan lucunya, ada sebuah ikrarnya, selesai lulus SMA, mereka akan berhubungan intim. Menguji sebuah ilmu yang udah dipelajari dari sekolah dasar, dan akan dilaksanakan di saat udah gak ada lagi keberatan. Dan apa bedanya kalau ada saya, yang mereka bicarakan, selalu aja teori - teori ngeribetin. Saya bosan di tengah - tengah mereka, menunggu mereka berpelukan rasanya menunggu Poseidon mengenakan helm perang Hades yang mengangkat petir Zeus yang mengayunkan triton Poseidon. Katanya sih, "Melakukan kemesraan di hadapan anaknya adalah tindak kejahatan yang membuyarkan kefokusan didikannya", nyatanya saya udah ngerti apa itu seksual. Aneh 'kan?"
Seterusnya, ia tak berhenti berkata. Menceritakan segala pembicaraannya dengan matang dan dipertegas. Saat itu, suatu kemilau datang, menghantamku dengan suatu perasaan. Aku tertarik kepadanya, dengan matanya yang memandang bumi tanpa mendalami geologi, mengenal rasi tanpa menunjuk galaksi, aku kagum dengan dia, Samudra. Ketika ia berbicara bahwa,
"Sejatinya, dunia gak bakal pernah diukur dari megahnya antariksa, perkasanya bumi hayati. Dunia yang saya kenal, dan selamanya akan seperti itu, ya dunia yang dipenuhi orang dengan ilmunya, dunia yang menjunjung sebuah kedudukan, dunia yang mengagungkan kawanan pembesar, padahal harusnya 'kan dunia yang dipenuhi kaum yang saling ngerti seluas dunia ada, seluas mereka ada, disitu kehidupan dunianya."
Lalu, hari berlalu. Menyisakan titik - titik ranggas kedewasaan diri. Ketika alam tak mampu berkata, ilmu tak diperdaya. Hanya ego yang dipercaya. Satu persatu kawan menghilang, tak ada kabar dari Samudra. Suatu angan jauh ke laut utara, tak pernah berbagi barang botol lautan. Aku kini berdiri, menyepi di atas bara api. Berusaha menggapai sebuah ironi, bahwa jika saja kabarnya bukan lagi kabar burung, Samudra mati.
"Kamu tahu gimana saya terbang?"
Aku menggeleng. Melihatnya yang memandang berkeliling podium sudah menegangkan batinku. Menyiksaku akan rasa kebersamaan yang seolah ingin habis, tersedot ozon - ozon pelapis bumi.
"Kamu tahu lucid dream?"
Kali ini aku mengangguk, tersenyum seolah pembicaraan ini akan lebih berarti. Ia ikut tersenyum, aku mencelos. Sekiranya hanya beberapa pembagian yang mampu membuatnya tersenyum. Rasa kagumku mengoar, mendengking di kala pelarutan siang menjamu di atas atap - atap. Samudra bukan seseorang yang bodoh untuk diajak bermain, justru - justru orang lain yang dipermainkan.
"Saya ingin merasakannya. Kalau ukuran sleep paralyze sih, saya udah sering. Tapi, ingin nyoba lucid dream rasanya susah banget."
Aku diam, menebak - nebak kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Sampai sekarang tak ada pertanda jawaban dari 'bagaimana saya terbang'.
"Kalau saya tiba - tiba jatuh ke bagian sleep paralyze, napas saya pun jadi jatuh, seolah gak ada harapan untuk melihat. Nah, kalau saya mengalami fase lucid, saya merasakan terbang. Terbang jauh, mengendalikan apa yang saya inginkan. Mengendalikan kalau aja dunia gak lagi bergejolak dengan barang - barang fana. Mungkin aja, saya akan senang orang tua saya gak ada di rumah, gak ninggalin saya akan sebuah penelitian yang baru. Saya bingung, seperti apa sih cinta itu?"
Aku mengeluarkan suaraku, suara yang sejatinya jarang kukendalikan. Dengan beberapa jam lalu yang memang aku tak bersuara, kali ini suaraku terdengar melejit. Sangat memalukan, "cinta? Cinta yang gimana dulu nih?"
"Cinta, cinta yang mana aja."
"Itu sih tergantung menurutku. Tergantung kamunya, ada nafsu atau enggak-"
"Saya pasti punya nafsu."
"Maksudku, nafsumu mendefinisikan kata cinta itu seperti apa dulu. Apakah cintamu dengan kedua orangtuamu-"
Ia mengangkat alisnya. Dengan ini, aku tak mengulang kata itu. Berusaha mengabaikannya. "Atau cintamu dengan... dengan, dengan siapa ya? Apa kamu pernah menyayangi seorang wanita?"
"Selalu."
"Oh- oh? Ehm, oke... Jadi- jadi kamu pilih aja yang mana cinta itu."
"Apa kamu cemburu?" Matanya memandangku, mencari kepastian di irisku balik. Aku bergeliat tak senang, sangat tak nyaman.
"Tidak."
"Oh."
"Sepertinya pembicaraan ini jadi ngelantur ya." Aku berdehem. "Aku juga udah suka sama orang lain, jadi aneh kan kalau kamu tanya cemburu."
"Oke,"
Sampai saat ini, aku tak mengerti persaannya di mana. Bagaimana ia mati, itu membuatku bergidik di kali pagi tak lagi matang. Petang menjadi perang. Malam sangatlah suram, fajar bukan suara untuk berujar. Sudah kutegaskan ke otakku, hingga seberapa gila jantungku harus kudegup. 'Samudra mati'.
Lalu sukmaku menelusuk ke parit - parit memori terselubung. Mengingatkanku akan penjamahan yang tak lagi berangsur. Akhirnya kutahu, sebuah kepastian yang telah lama hilang.
"Kami kumpulan inkompeten yang luar biasa. Mengisahkan pada dunia bahwa kami mampu berbicara." Hari itu, Samudra menjelaskan kepadaku. Menjelaskan sesuatu yang harus kupikir berulang. "Kami kumpulan inkompeten." Timpalnya.
"Siapa aja? Kurang jelas kalau kamu bilang 'kami' bukan 'kita'. Walau sama arti, tapi orang umum nilainya bakal beda. Siapa aja yang kamu maksud 'kami'?"
"Saya gak bilang 'kita' kok. Berarti bukan tentang saya dan kamu 'kan."
"Lalu?"
"Kemarin saya bertemu seseorang. Orang luar biasa yang kidal. Ia bercerita kepada saya mengenai Nebula Kepiting, sekumpulan sisa - sisa supernova. Oh, itu sangat mengagumkan. Ketika suatu bintang akan mengalami supernova, bintang tersebut akan melepaskan energi setara dengan energi matahari yang dilepaskan seumur hidupnya. Keren 'kan. Ledakannya bakal meruntuhkan sebagaian besar material bintang pada kecepatan 30.000 km/s atau ya mungkin 10% kecepatan cahaya, juga ngelepasin gelombang kejut yang bisa musnahin medium antarbintang. Sayangnya, rata - rata peristiwa supernova hanya 50 tahun sekali di galaksi Bima Sakti. Supernova tuh keren, ia punya peran dalam memperkaya medium antarbintang dengan elemen - elemen massa yang lebih besar. Terus, gelombang kejut supernova bisa ngebentuk formasi bintang baru."
Aku memandang langit secara spontan. Dan tiba - tiba ia tertawa. "Ya mana ada sekarang."
"Terus kapan?"
"Emangnya saya tuhan, bukan saya 'kan yang ngendaliin. Nah, saya jadi akan berbicara ini 'kan. Maaf, saya harus berbicara sesuai keyakinan saya. Kamu jangan tersinggung. Tuhan saya, Allah SWT, berbeda denganmu. Hebatnya maha kuasa Allah, kejadian supernova pun termasuk unsur dalam menciptakan kehidupan di alam semesta. Unsur - unsur supernova melontar ke ruang angkasa. Unsur ini juga bisa pindah jauh dari tempat bintang ini meledak. Katanya, unsur itu kemudian bergabung membentuk suatu bintang baru atau bahkan planet."
Dia benar. Kepercayaan kami berbeda. Ketika aku mengagung - agungkan kitab Sutta, Vinaya, Abdhidahamma, ia dengan mulianya membacakan ayat Al - Qur'an. Ketika aku harus menekan sistem kausal yang mendalami alam semesta (pratitya samutpada) yang merupakan tatanan alam (dharma) dan sumber pencerahan. Ia akan mengerti, mendalami firman - firman tuhannya -Allah SWT. Pada ajaran kepercayaanku, tak ada ketergantungan pada realitas fenomena supranatural ditegaskan untuk menjelaskan perilaku materi. Menurut ajarannya, manusia harus mempelajari alam ( dhamma vicaya) untuk mencapai kebijaksanaan pribadi ( prajna) tentang sifat hal ( dharma). Dan entah bagaimana dia, Samudra, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya.
Kali ini aku terombang - ambing atas perkataannya, seraya bimbang menegaskan apa yang harus kudengarkan. Penjelasannya, atau tiap sorotannya. Sampai sekarang aku harus mengolah tiap pikiranku,
Bagaimana Samudra mati.
Bagaimana Samudra mati.
Bagaimana Samudra mati.
Ketika kumengingat masa kelam di antara keluarganya, aku mampu berasumsi. Apakah di situ dia mati? Jika kupikirkan ulang, rasanya sudah bertahun lamanya ia diam di antara penjelasan teori alamiah, penerapan daya pikir Auguste Comte, atau bahkan pengolahan untuk menyetarakannya menggunakan 8% otaknya seperti Albert Enstein. Atau bahkan sejenius Dimitri Mandeleev yang memeloporkan pengelompokkan unsur berdasarkan kenaikan massa atom relatifnya, ia tak beronta. Alasan itu bukanlah hal galan untuk dipermasalahkan. Tetap bagaimana kutahu, ia adalah seorang yang tabah, ia bukan orang biasa.
Lalu, bagaimana dia mati?
Di antara ratusan teorinya, satu pilihanku yang terasa akurat. Penjelasan mengenai supernova.
Bagaimana Samudra mati? Ia menyiratkanku sebuah makna melewati peristiwa supernova. Entah ia bisa menjadi yang mana. Namun bagiku tetap, ia adalah bintang itu. Bintang yang meledak akibat peristiwa supernova. Dia pula unsur supernova itu. Unsur yang menciptakan kehidupan di nadiku. Unsur yang membentuk bintang baru di jantungku, unsur yang bahkan membuat planet di ragaku.
Unsur yang membuatku takkan melupakannya. Bahwa, aku mencintainya.
...
Dan gilanya aku melupakan sesuatu, melupakan sebuah peristiwa pelumpuh jiwa elok Samudra. Kau tak mengerti bagaimana ia mati berpetik ranjau bergelimang darah,
Harus kuterapkan, supernova, mahakarya indah di mata air hatta bewarta. Supernova, tatkala kuimbangkan sebuah penuturan, "supernova tuh ngebentuk, bukan dibentuk".
Kami adalah dua roh paralel, aku dan Samudra. Wanita dan pria. Dua intisari dengan satu perkara. Di mana kami dalam peristiwa supernova? Kusadari, Samudra bintang dan unsurnya. Dan aku...
Akulah ledakannya.
....
Ngaco abis ceritanya. Maksain banget 'kan ya? Tiba - tiba dapet ide kayak gini, langsung tulis dah. Pas bagian ajaran agama Buddha itu, bolak - balik buka internet. Untung juga, ada buku kakak saya -SMA-, jadinya kalau ada beberapa hal yang lupa atau kurang yakin, bisa langsung liat. Oh ya, saya orang Islam, tapi tak ada salahnya mengikut sertakan ajaran agama lain di suatu karya.
Selamat menikmati, tak ada perbedaan Muslim, Buddhies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar