Selasa, 30 Desember 2014

Hujan

Hujan
By Lutfiah Setyo .C

Ps : ini bukan cerita yang bakal ada klimaksnya. Ini sekadar penuturan dari maksud ceritanya.
...

Bukan masalah waktu yang kau bicarakan. Kau tak pernah memedulikan waktu, sekarang, esok, atau lusa. Kau tak pernah memedulikan itu. Karena, bagimu tidak selamanya kita akan memanfaatkan waktu. Yang kau bicarakan hanya satu, fakta. Kau tahu, sangat tahu bahwa tak ada fakta yang buka suara. Biarkan segalanya menunggu waktu, waktu, dan waktu. Bahkan, tak ada pula yang tahu menunggu waktu itu seperti apa.

Kau suka pembicaran itu, mengenai fakta. Namun, kau tak pernah menyukai jika kita akan mengungkit waktu sebagai sarana alternatif untuk pemecahan masalah. Aku tahu ideologimu tinggi. Segala pembicaraan yang berbuah filosofi selalu membantingku jatuh, membuatku berpikir bahwa kau dan aku berbeda kalangan. Dan kemudian kau akan sadar untuk berkata bahwa kita sama, sejajar. Kita mencinta satu sama lain dengan pergerakan hati dan batin yang sama. Kita bercinta dengan pergerakan naluri dan hewani yang sama. Kita mengutarakan kata cinta dengan pengejaan yang sama, bahkan terkadang kau membiarkan bibir ini bersatu hanya untuk membuahkan "Aku mencintaimu," dan tak henti untuk menyengatku dalam sensasi yang menghangatkan. Namun, itu arti sama bagimu, bukan bagiku. Dan, tentu saja masing - masing dari kita tak terlalu memedulikan itu.

Kita jatuh cinta satu sama lain, akan tetapi kita berdebat untuk pembelaan yang berbeda. Kau menyukai fakta, aku terkesan dengan penuturan waktu. Kau seolah memujanya, aku hanya berkata bahwa itu benar. Kau yang seolah terlibat rasa fanatisme dan aku hanya sekadar berkata "iya, benar". Dan pada akhirnya tetap sama saja, kita jatuh cinta satu sama lain.

Dunia bagimu bukan tempat untuk memelas rasa empati orang lain. Padahal, kita selalu mengasihani satu sama lain, namun itu bukan empati dari orang lain. Kau dan aku satu, tak ada masalah dengan itu. Mengasihani diri sendiri terlihat normal di mata kita, mencintai diri sendiri terlihat bijak di mata kita, menawarkan sensasi mahal kepada orang lain itu hal hina, tapi kita bukan orang lain, kita diri sendiri.

Aku mencintaimu tanpa ego yang salah, kau mencintaiku tanpa andil yang berbeda. Kita mengerti bagaimana cara bersikap mencinta. Bukan dengan mengumbar status sosial media ataupun berkata terang - terangan seperti menyebarkan berita yang pantas dibanggakan. Aku dan kamu tak pernah bangga atas penuturan "aku punya pacar," yang terkesan berlebihan. Kita bangga atas satu hal yang sama, bahwa kenyataannya kita memiliki satu sama lain.

Kita menyukai satu hal yang berbeda, fakta dan waktu. Namun, kita memiliki ketertarikan yang sama. Ketertarikan atas air yang bergerak dengan sensasi melepaskan, hujan. Kita pula sadar bahwa hujan memiliki fakta untuk terjadi dan memiliki waktu untuk diakhiri, namun tak pernah ada pengutaraan tentang itu.

Bagimu dan bagiku sama, hujan membawa satu suratan takdir yang terjalani atas dua mahakarya tuhan yang bersatu. Bersatu dengan hati, bersatu dengan pergerakan kulit masing - masing, bersatu dengan tatap mata yang berbeda warna namun satu arti.

Kita bukan anak remaja yang memiliki rasa terkesan yang dibutakan menjadi cinta. Cinta itu murni, mengalir bersama seirama tanpa genggaman yang pasti, namun tak akan pernah bisa terbebaskan dari rengkuhan masing - masing. Dan begitupula kita, kita mencinta dengan konteks yang murni. Memandang satu sama lain semurni yang mampu kita yakini, entah seberapa besar yakin kita atas satu sama lain. Kita tahu, diri ini murni, bukan sekadar angan - angan semu.

Namun, kita memiliki rahasia tersendiri, rahasia yang sama arti. Sejujurnya hanya ada satu alasan yang menarik keterkaitan kita atas hujan. Yaitu, hujan memiliki fakta dan bergantung pada waktu. Seperti kita, memiliki fakta untuk saling mencinta dan memiliki waktu untuk saling bersama. Dan kita tertegun untuk satu hal yang pasti, prediksi kita akan sesuatu meleset begitu cepat ternyata.

Cinta kita itu murni, tak memerlukan fakta untuk mengungkapkan "kenapa", dan tak memerlukan waktu untuk bertanya "kapan". Kita saling mencinta selamanya, sampai mati.


......

Gaje bgt dah ini. Seharusnya gue gak bikin beginian yang terlalu banyak kata "cintacintacinta", akhirnya bikin yang alay kayak begini kan-_-.

Rabu, 24 Desember 2014

Canidae, Bergerak ke Timur
By Lutfiah Setyo .C

Dalam beberapa bagian akan ada kesimpulan :'...' Kau
"...." Aku
Dalam percakapan, keduanya pasti menggunakan "..."
                                 ---                                                    
Akuilah pesan yang tak sampai ini, rasa yang mengukuh dalam diri ini. Tak mampu mengutarakan lebih, hanya sekadar telaga dalam hati ini. Telaga yang kian mati, telaga yang menghantarkanmu ke siksaku, aku tersiksa.
                                  --

Dahulu kau berkata, terus membenak takkan pernah hilang. Tak akan pernah. "Aku ingin menjadi makhluk berbulu seperti itu. Tubuhnya oranye dengan bulu putih bersih di sekitar pangkal lehernya. Rubah, canidae, vulpes."

Kuketahui setiap rinci hidupmu, kuketahui denyut nadimu, denyut yang mengintimidasiku di tiap detiknya. Kuketahui pergerakan baik-burukmu. Dan, kutahu otakmu sangat rumit. Pemikiran yang tidak seharusnya pada usia itu, membuatmu terlihat berpikir keras, terlihat sepuluh tahun lebih tua daripada usiamu saat ini, membuatku berkata pada saat itu kau terlihat lucu. Dulu, kau adalah sosok yang humoris. Namun, saat kemalangan menimpamu beruntun, dan tak menyisakan satupun tempat 'tuk bersimbah bagimu, 'tuk mengurai tangis dan derai tawa. Sosok itu pergi, meninggalkanku sendiri.

"Lusa lalu, aku akan berburu ke hutan. Di dekat padang, seekor rubah datang. Di belakangku. Tepat di belakangku. Hutan di utara, beberapa meter jauhnya. Namun, ketika langkahku tinggal beberapa, rubah itu berhenti. Bergerak ke timur, 45 derajat bertolak dariku. Itu aneh, bagiku," karna kuyakin kau akan melanjutkan. Dan, pasti membuahkan sebuah filosofi yang tak kumengerti.

Kau tak peduli aku mengerti atau tidak. Bagimu, aku sudah duduk di sampingmu dan mendengar tanpa sedikit pun membantah itu sudah cukup. Kau tahu aku selalu memasang garis wajah yang tertarik, seolah mengikuti arus kisahmu. Namun, bagimu itu sudah cukup. Aku tak pernah melewatkan satu katapun, walaupun terkadang itu tak menarik, terkesan terlalu muluk, aku tak pernah suka itu. Aku menyukai hal yang lugas. Akan tetapi tak akan pernah aku mengatakan itu di hadapanmu. Bukan karena aku akan melukai hatimu ketika kau sadar kisahmu tak cukup menarik untukku, tapi karena aku dan kamu tahu, kita tahu bahwa hidupmu terlampau muluk. Sama sekali tak lugas, dan itu menyiksaku ketika aku harus mengakuinya.

"Lalu, apa masalahnya?" Aku berusaha mungkin mengikuti arus pergerakanmu, namun takkan pernah bisa. Otakmu rumit, pola pikirmu menggugah, katawimu membelenggu siksa. Aku tak pernah seimbang dengan itu. Kita berbeda, masing - masing dari kita tahu itu. Aku hanyalah seseorang yang mengukur hidupnya di kandang kuda desa. Berbeda denganmu yang mampu berinteraksi dengan alam tanpa perlu takut ada yang melarangmu. Kau bebas, dan aku tidak.

'Namun, jika kau tahu. Akulah yang terkukung sandiwara hidup ini. Akulah yang terpenjara, kau tidak. Aku kuda itu, kau alamnya. Namun kau tak pernah menyadari. Kutahu kau tak pernah memandangku sebagai sosok yang tersiksa, sendiri. Tapi kumohon, akui sekali saja, harus ada yang mengerti luka ini. Kumohon.'

"Rubah mampu bertahan dengan baik, ia memakan segalanya. Ia juga sosok yang kuat, namun itu aneh. Rubah yang mengekoriku saat itu takut dengan rumahnya. Takut akan rimba," kau menjawab lugas, kali ini. Dan aku mulai benar - benar tertarik.

"Banyak hal yang memiliki ketakutannya sendiri, bukan?" Balasku.

"Apa kau takut dengan kuda?"

"Bagaimana mungkin, itu belahan jiwaku," tandasku, kupikir dengan menyelipkan beberapa gurauan kecil akan menghangatkan atmosfer di sekitar kita. Tapi tidak, wajahmu terlampau serius untuk waktu yang seharusnya kita habiskan 'tuk berbincang singkat. Atau memang selera humorku tak sebaik dirimu. Entahlah.

"Sama seperti rubah itu. Aneh ketika itu membalik dari alamnya, rumahnya,"

"Mungkin suatu saat perkara akan membawaku takut pada kuda, seperti rubah itu,"

"Mungkin," setelahnya kau diam. Hening. Hening yang tak biasa, hening yang tak kusuka.

Aku tersadar akan sesuatu, kau tak membalas. Tidak seperti biasa. Kau tak pernah suka ada seseorang yang mengganggu imajimu akan sesuatu.

'Namun ini bukan imaji.'

                               --

Akuilah sakit ini, sakit yang kian membelenggu kita dalam sunyi. Akuilah nestapa ini, nestapa yang memberengut kebersamaan dua insan tanpa hati. Akuilah, akuilah segala yang menghimpit poros hidup ini. Percayakan takdir pada mahakuasa, bukan karena kita yakin sesuatu akan menjadi manis di kemudian hari. Namun, karena kita tersadar bahwa dalam diri ini tak satupun bagian yang mampu menghalau akhir.
                               --
Pagi ini terkesan liar, dan aku tak menyukainya. Sesuatu terasa berbeda, aneh, asing. Seperti dalam beberapa keadaan kau ingin menangis namun tak mengerti alasan tertentunya. Penglihatan ini kian memburuk, tiap langkah yang kuajukan tak satupun memberikan kepastian kemana kaki ini akan melangkah. Segalanya terlihat delusif dan tak kokoh.

Aku berjalan menyusuri perumahan yang segalanya nampak normal. Tidak aneh. Namun, aku merasa berbeda. Liar.

Kandang kuda kali ini terlihat tenang, bahkan Mr. Isaac pemilik kandang kuda tak menyapaku dalam konteks lain, sarkastik. Aku senang mungkin.

Keadaan yang melewati batasnya akan memberikan ketakutan tersendiri dalam tiap subjeknya. Tenang yang terkesan terlalu dibuat - buat kini menggangguku, risih. Sampai matahari mencapai pokoknya, ketika aku dapat pulang dan berkisah denganmu segalanya terlampau muluk, padahal aku suka hal yang lugas 'kan?

Saat itu kau memunggungiku. Kantong anak panah menegapkan bahumu yang bidang. "Kau akan berburu?" Tanyaku tiba - tiba, mengejutkanmu dan membuatmu segera berbalik.

"Ya," jawabmu.

"Aku ikut," pintaku terkesan mendadak.

Kau mengerti aku tak pernah memiliki kaitan baik dengan alam atau segala hal yang menyangkut selain kuda. Kau menggeleng, "aku tak akan menempatkan diriku dalam bahaya ketika harus membopongmu pulang hanya karena ketakutan."

"Hei, aku tak separah itu," tandasku geli.

"That's you are,"

Kau melangkah akan melewatiku. Secara reflek yang melekat entah dari mana, segalanya berputar hebat dalam otakku, otakku tak rumit bukan?

Bibirnya basah. Aku mengecupnya. Singkat, sangat singkat. Ia tak terlihat protes atau bagaimana, seperti maklum. Rasa liar itu kian hebat, seperti ada hewan dalam diriku yang ingin menganjal keluar. Kuyakin kini, alam mampu berkata. Tak ada interaksi yang baik antar aku dan alam, namun kini ia berkata, menjelaskanku sebuah rasa yang harus kupahami sebelum segalanya terlampau jauh, tertinggal untuk disesali.

"Cepat pulang," lirihku tak tertahan. Aneh. Aneh.

Suatu hari aku meyakinkan diriku bahwa kisah lama tak kembali terulang, aku selalu ingin meyakinkan itu. Ketika aku tersadar kau membisikkan sesuatu, nada gusar terselip di sana, "canidae, canidae."

                                         --

Akuilah jejak yang kian renta ini. Akuilah surut kebebasan yang kian menjadi ini. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Bebas, berarti mati. Hidup adalah penjara. Bagimu dan bagiku terlihat sepintas berbeda, namun kita sama. Kita memandang langit dengan sebelah mata. Kita menghitung penjuru dengan jari yang salah. Karena kita satu, akuilah.
                              ---

Liar itu tak pernah surut. Tak menyiksa secara intim memang, namun mengganggu sampai belahan jantungku.

Aku berlari, kencang, sangat kencang. Menembus batang cakrawala, menghiraukan segala aksara. Liar itu menggeram, membubungku tinggi, menembus kegelisahan yang kian menjadi. Aku ingin menggeram kencang, namun seluruh suara hilang tertelan jauh, seperti termakan perut sendiri.

Langkah ini tepat menuju utara, untuk membelah hutan dan menggenggam liar itu secara naluriah. Namun alam tak pernah tergenggam, ia yang menggenggam.

Di padang itu segalanya sunyi, menakutkan. Kisahmu. Aku teringat, kisahmu.

Dengan gerakan yang kasar, aku membalik, menemukan seekor rubah membuntutiku di pusat padang. Matanya mengecil seolah menahan jerit. Ia berlari, seekor rubah memutar arahnya, 45 derajat berbeda dari utara. Bergerak ke timur. 'Canidae, canidae.'

Dan kini aku yang berganti membuntutinya. Pasokan udara terasa menipis, menghilang dalam muka bumi. Aku terjatuh, terjerembap, menangis, tersedu. Memukul tanah padang yang segar. Aku terjatuh, seolah tertelan perut bumi. Segalanya berputar.

Dan kini pesan itu sampai, sunyi, darimu.

Rubah itu datang, menempatkan sisinya di sampingku. Menghadapku, bola matanya menatapku hebat, kencang, erat.

Oh, bahkan aku sudah tak lagi memedulikan mana logika mana bukan, segalanya terlihat kacau. Di mata itu, aku mengenggam liarnya, atau bahkan tergenggam.

Kau hilang, hilang begitu saja. Menyisakanku yang menangis. Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa memberiku bekal untuk mengerti alam secara baik dan konstan. Kau tak menjemputku dalam relung sendiri ini. Biarkan aku yang membunuh kita, jarak antar kita. Biarkan aku yang menembus penggalan memori dalam kilatan mata. Biarkan aku yang mati, karena dengan itu aku bisa bebas.

Kau tak pernah mengerti. Aku terjebak, terperangkap, tersandera oleh sandiwara cinta yang tidak bermuka. Berhenti berkata kau yang sendiri, akulah. Aku yang sendiri. Tak peduli keluarga ada atau tiada, hidupku sendiri. Sangat sendiri, sangat sunyi. Dan sayangnya kau tak pernah mengerti.

Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi diam dan menerima. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi tersiksa. Kau curang, selalu menempatkanku dalam posisi kecewa. Kau curang, tidak membiarkanku bersedih dalam satu kata. Kau curang, sangat curang.

Dan kini, aku akan menentang. Aku tak akan diam dan menerima. Aku tak akan tersiksa. Aku tak akan kecewa. Kutumpahkan segala sedih itu dalam tangis diam. Tangis yang hebat. Aku menggeram, membelenggu senja yang kian menarikku. Menarikku menuju kelam yang panjang, untuk bersamamu.

Kau mati, aku mati, karena kita satu.
                             ---
'Ikuti alam, mereka mampu berbicara dalam konteks yang berbeda. Mereka mampu mengutarakan kata yang lebih hebat dari seorang filsafat sekalipun. Karena bahkan filsafat belajar pada alam, mereka mengerti alam'
                                 Fin

Oke, ini absurd dan gak jelas banget. Niat awalnya gak mau kayak gini, eh tapi karena nafsu pengen cepet selesai, jadilah maksa kayak gini. Padahal pengen bikin angst gitu, tapi gabisa adeh.

Pengen punya akun ffn, tapi belum ngerti caranya. Udah punya sih, tapi belum bisa ngepostnya. Dan akhirnya cuma bisa jadi silent reader dan kadang - kadang review kalau lagi engga mager.

Terakhir, di post ini, gue nyelipin beberapa lirik dari lagu rectoverso yang firasat walaupun isinya beda, tapi intinya sama, dan nidji takut bilang tidak yang ost. Supernova. Pengennya bikin interaksi sama alam yang lebih mendalem, tapi masih gabisa.

Jumat, 28 November 2014

O Canto Era : with Fandom SUPERNOVA:GELOMBANG

--
O' Canto Era
By: @chynsetyo
Fandom: Supernova : GELOMBANG
*kalimat yang terdapat dalam novel asli karya Dee ini.
...
Antarabhava. Asko. 

Dua kata itu berputar muluk dalam garis kronologisku yang sejatinya tak pernah menyatu dari tiap tariknya. Dua kata itu, seolah mengecohku dan menciptakan sensasi anagram yang sejujurnya tak pernah ada.

Dahulu, ketika tapak kakiku tak mengendus adanya kekeliruan. Ketika aku masih bernapas bersama gunung dan alam*. Ketika hidup tentramku di Sianjur Mula - Mula. Dua kata itu melingkup dalam surut ketakutanku yang mendalam. Peristiwa gondang itu yang menemukanku atas suatu titik suaka tak bernama, Si Jaga Portibi. Ketika Ompu Togu Urat dan Ompu Ronggur Panghutur berkelakar ria tanpa kumengerti siapa yang harus kubela. Dan, ketika itu aku sadar, sulit berdiri di antara pusaran kebimbangan, di saat aku harus menentukan mana yang baik mana yang buruk.

Aku yang mengatur. Thomas Alfa Edison yang mengatur. Alfa Sagala yang mengatur. Dan, kembali aku dipusingkan dengan satu perihal: siapa 'aku' itu?

Seharusnya aku mengerti, gelombang, aku hanyalah raga yang menjadi penopang gelombang itu. 

Namun, sebelum aku memasuki Asko secara keseluruhan, ketakutan itu membuai semakin lama. Semakin larut. Bahkan membutakanku akan sesuatu.

Jika memang benar, sang peretas itu yang mengatur segala ini, penjaga kedai, Norbu, pesan - pesan di kehidupan silam. Kembali jajaran spekulasiku menyerbu, seolah membentuk tombak yang menebasku luput.

Dan kembali aku dihadapkan atas kebimbangan.

Jika memang benar, aku menggantikan posisi Eten dan berimigrasi dengan status ilegal itu sebuah kebetulan, seseorang akan berkata, ah, bukan seseorang. Entah apa itu. Kebetulan itu tidak ada seharusnya, jika segala telah digariskan dalam waktu dan takdir, tak ada yang namanya kebetulan.

Namun, ini semua terasa di luar kendali pola pikirku. Pola pikir yang selalu tolak menolak, menghempasku ke benteng tertahan yang melebur tak keruan. 

Aku takut, entah siapa aku itu. Tapi aku takut. Bukan karena Bintang Jatuh yang datang dalam gugusku. Bukan karena aku tak tahu siapa itu Partikel, Petir, Akar, dan dua lainnya. Bukan karena seseorang bernama Kell yang menuar pesona di pesawat dalam keberangkatanku ke Jakarta. Bukan karena ketika itu aku tersadar sesuatu bersamaku, bernapas seirama, mengikat diri atas tiga pola kasak-kusuk Infiltran-Peretas-Sarvara.

Tapi karena si Lollipop Addict. Nicky Evans. Ketika aku tahu, seorang Alfa Sagala yang menjadi The First Pinoy bagi Rebecca, melukai seorang hati wanita tanpa sadar betul apa yang harus dikendali. Nicky Evans, tanpa katawi harfiah yang diperjelas, mengecupku singkat. Dan setelah itu kulihat ransel violetnya serta koper besar hijau neon yang mencolok di tengah kerumunan pergi menjauh. Berusaha berlari melawan arus namun usahanya gagal atas ketidaksinambungan.

Ishtar Summer, wanita itu mencekamku dalam bayang kegelapan yang terus menyeruak datang. Menghantamku dengan ketidakpastian yang merajalela. 

Aku tak suka ini, di saat kebimbangan mengambil alih kendaliku.

Kendati kuharapkan niscaya datang begitu saja, memberitahuku atas sosok itu. Ishtar Summer, apakah ia termasuk dalam tiga pola ini. Apakah ia serong peretas, seorang ilfitran, ataupun sarvara. Beritahu aku setidaknya.

Beri aku kepastian. Tolong. Siapapun.

Kini langkahku sudah tak aman. Tiap petak yang kujejal menciptakan gairah dan kontruksi yang tak sama. Mewanti - wanti nyanyian burung nasar benar adanya. Mewanti - wanti sarvara yang berliku di mana saja. Mewanti - wanti kematian yang kian mendekat.

Berharap adalah satu kunci emas yang bukan hanya sekadar gantungan kunci*. Hidupku bukanlah suatu matra yang diukur dari adanya harapan itu atau tidak. Hidupku berarus, Sianjur Mula - Mula, Batak, Medan, Jakarta, Amerika, New York, .....Tibet.

Namun, kunci emas itu selalu ada dalam perkaraku. Berharap aku akan tertidur dan menerima mimpi itu bukan hanya sekadar selewatnya saja. Aku bukan oneiuronaut, mungkin. Kasus ini bukan sekadar insomnia saja.

Namun.... kematian yang menyapaku tanpa henti.
....
Sensasi ini tak hanya sekadar menganggung. Akan tetapi mengguncang. Sakit kepala yang berkoar di kepala kananku sehingga mata ini sulit membuka. 

O' Canto Era......

Aku mau nyanyian tidur. Entah siapa aku itu. Thomas Alfa Edison, atau Alfa Sagala, atau...... gelombang.

.....

Beberapa jam setelah selesai baca gelombang wkwk. Keren bgt sumpahsumpahsumpah. Greget rasanya pgn ngasih tau Alfa kalau Partikel itu Zarah, dan lain - lain, tapi harus nyadar diri juga, yang baca kok kayak sok tau-_-. Tapi sumpah itu keren bangeeet, bener bener tambah ngefans sama Dewi Lestari Simangunsong.

-LSC-

O Canto Era : with Fandom SUPERNOVA:GELOMBANG

--
O' Canto Era
By: @chynsetyo
Fandom: Supernova : GELOMBANG
*kalimat yang terdapat dalam novel asli karya Dee ini.
...
Antarabhava. Asko. 

Dua kata itu berputar muluk dalam garis kronologisku yang sejatinya tak pernah menyatu dari tiap tariknya. Dua kata itu, seolah mengecohku dan menciptakan sensasi anagram yang sejujurnya tak pernah ada.

Dahulu, ketika tapak kakiku tak mengendus adanya kekeliruan. Ketika aku masih bernapas bersama gunung dan alam*. Ketika hidup tentramku di Sianjur Mula - Mula. Dua kata itu melingkup dalam surut ketakutanku yang mendalam. Peristiwa gondang itu yang menemukanku atas suatu titik suaka tak bernama, Si Jaga Portibi. Ketika Ompu Togu Urat dan Ompu Ronggur Panghutur berkelakar ria tanpa kumengerti siapa yang harus kubela. Dan, ketika itu aku sadar, sulit berdiri di antara pusaran kebimbangan, di saat aku harus menentukan mana yang baik mana yang buruk.

Aku yang mengatur. Thomas Alfa Edison yang mengatur. Alfa Sagala yang mengatur. Dan, kembali aku dipusingkan dengan satu perihal: siapa 'aku' itu?

Seharusnya aku mengerti, gelombang, aku hanyalah raga yang menjadi penopang gelombang itu. 

Namun, sebelum aku memasuki Asko secara keseluruhan, ketakutan itu membuai semakin lama. Semakin larut. Bahkan membutakanku akan sesuatu.

Jika memang benar, sang peretas itu yang mengatur segala ini, penjaga kedai, Norbu, pesan - pesan di kehidupan silam. Kembali jajaran spekulasiku menyerbu, seolah membentuk tombak yang menebasku luput.

Dan kembali aku dihadapkan atas kebimbangan.

Jika memang benar, aku menggantikan posisi Eten dan berimigrasi dengan status ilegal itu sebuah kebetulan, seseorang akan berkata, ah, bukan seseorang. Entah apa itu. Kebetulan itu tidak ada seharusnya, jika segala telah digariskan dalam waktu dan takdir, tak ada yang namanya kebetulan.

Namun, ini semua terasa di luar kendali pola pikirku. Pola pikir yang selalu tolak menolak, menghempasku ke benteng tertahan yang melebur tak keruan. 

Aku takut, entah siapa aku itu. Tapi aku takut. Bukan karena Bintang Jatuh yang datang dalam gugusku. Bukan karena aku tak tahu siapa itu Partikel, Petir, Akar, dan dua lainnya. Bukan karena seseorang bernama Kell yang menuar pesona di pesawat dalam keberangkatanku ke Jakarta. Bukan karena ketika itu aku tersadar sesuatu bersamaku, bernapas seirama, mengikat diri atas tiga pola kasak-kusuk Infiltran-Peretas-Sarvara.

Tapi karena si Lollipop Addict. Nicky Evans. Ketika aku tahu, seorang Alfa Sagala yang menjadi The First Pinoy bagi Rebecca, melukai seorang hati wanita tanpa sadar betul apa yang harus dikendali. Nicky Evans, tanpa katawi harfiah yang diperjelas, mengecupku singkat. Dan setelah itu kulihat ransel violetnya serta koper besar hijau neon yang mencolok di tengah kerumunan pergi menjauh. Berusaha berlari melawan arus namun usahanya gagal atas ketidaksinambungan.

Ishtar Summer, wanita itu mencekamku dalam bayang kegelapan yang terus menyeruak datang. Menghantamku dengan ketidakpastian yang merajalela. 

Aku tak suka ini, di saat kebimbangan mengambil alih kendaliku.

Kendati kuharapkan niscaya datang begitu saja, memberitahuku atas sosok itu. Ishtar Summer, apakah ia termasuk dalam tiga pola ini. Apakah ia serong peretas, seorang ilfitran, ataupun sarvara. Beritahu aku setidaknya.

Beri aku kepastian. Tolong. Siapapun.

Kini langkahku sudah tak aman. Tiap petak yang kujejal menciptakan gairah dan kontruksi yang tak sama. Mewanti - wanti nyanyian burung nasar benar adanya. Mewanti - wanti sarvara yang berliku di mana saja. Mewanti - wanti kematian yang kian mendekat.

Berharap adalah satu kunci emas yang bukan hanya sekadar gantungan kunci*. Hidupku bukanlah suatu matra yang diukur dari adanya harapan itu atau tidak. Hidupku berarus, Sianjur Mula - Mula, Batak, Medan, Jakarta, Amerika, New York, .....Tibet.

Namun, kunci emas itu selalu ada dalam perkaraku. Berharap aku akan tertidur dan menerima mimpi itu bukan hanya sekadar selewatnya saja. Aku bukan oneiuronaut, mungkin. Kasus ini bukan sekadar insomnia saja.

Namun.... kematian yang menyapaku tanpa henti.
....
Sensasi ini tak hanya sekadar menganggung. Akan tetapi mengguncang. Sakit kepala yang berkoar di kepala kananku sehingga mata ini sulit membuka. 

O' Canto Era......

Aku mau nyanyian tidur. Entah siapa aku itu. Thomas Alfa Edison, atau Alfa Sagala, atau...... gelombang.

.....

Beberapa jam setelah selesai baca gelombang wkwk. Keren bgt sumpahsumpahsumpah. Greget rasanya pgn ngasih tau Alfa kalau Partikel itu Zarah, dan lain - lain, tapi harus nyadar diri juga, yang baca kok kayak sok tau-_-. Tapi sumpah itu keren bangeeet, bener bener tambah ngefans sama Dewi Lestari Simangunsong.

-LSC-

Rabu, 17 September 2014

Kau Bintang Dari Suatu Penjelasan Supernova

By @chynsetyo

Aku tak peduli pada bagian tergelap bumi
Ketika jiwa jiwaku bahkan sudah tak dihuni
Aku tak peduli pada kekejaman batin
Ketika sukma ini tak lagi dipimpin

Dari seluruh pengetahuanku,
Hanya satu yang terkutu, mengapa dunia ini sangat elok jika dibanding neraka?
Mengapa surga itu sangat menawan ketika berbanding dunia? Dan mengapa neraka selalu dianggap siksaan, padahal dunia telah kau jadikan siksaan?

Berpikir itu rumit
Karena otakmu hanya tahu yang namanya teori
Berkata itu berbelit
Ketika yang kau tahu hanyalah sejarah histori

Seharusnya kau mengerti, 
Aku menunggu sampai cinta ini mati

----------------

"Yang saya tahu, hanya orang jahat yang bakal berbuat kejahatan. Nyatanya orang teladan bisa melakukannya. Ketika hasrat hewani mereka mengerat, dan apapun bakal mereka lakukan cuma buat uji percobaan. Eh, keliru. Kalau orang teladan bisa ngelakuin kejahatan, sama aja 'kan dia kayak orang jahat lainnya," 

Aku mengenalnya ketika animoku masih bergelayung di atas senja. Di saat senyawa tak bergemuruh membentuk suatu unsur, ia berani mengungkit hal tabu di mataku. Dengan kacamata minusnya, ia berbicara seolah dunia bukan hal yang mistis untuk berbagi rahasia. Entah harus kuyakini ia dari mana, "nama saya Samudra," dan kemudian ia bergelut dengan metaforanya, menceritakan aibnya -yang hanya diumbar kepadaku-

"Kedua orang tua saya adalah ilmuwan, sepasang ilmuwan. Ilmuwan yang bakal nguji segala ilmu yang mereka pikirkan. Saya tanya sama kamu, apa keren jadi anak sepasang ilmuwan?"

Jawabanku terdengar lunglai dan tak mendasar di telinganya, seolah aku sangat sentimental, "Keren, apa - apa kamu bisa nanya aja 'kan," dan saat itu ia menggeleng.

"Kalau kayak gitu sih baru keren. Tapi jadi anak percobaan, itu nggak keren," suaranya mengambang bagai atom - atom yang berkeliaran. Kala itu, matanya bernaung lakasana raja singgasana, alisnya mengangkat layak Zeus dengan petirnya, pesonanya redup termakan kilau Aphrodite. "Mau tahu?" Timpalnya, dan aku mengangguk.

"Ayah dan ibu saya, mereka mengukur keterkaitan diri masing - masing sebagai 'kebutuhan', mengasumsikannya sesuai penuturan Aristoteles, "Manusia adalah makhluk sosial", dengan itu mereka harus saling berhubungan. Dan lucunya, ada sebuah ikrarnya, selesai lulus SMA, mereka akan berhubungan intim. Menguji sebuah ilmu yang udah dipelajari dari sekolah dasar, dan akan dilaksanakan di saat udah gak ada lagi keberatan. Dan apa bedanya kalau ada saya, yang mereka bicarakan, selalu aja teori - teori ngeribetin. Saya bosan di tengah - tengah mereka, menunggu mereka berpelukan rasanya menunggu Poseidon mengenakan helm perang Hades yang mengangkat petir Zeus yang mengayunkan triton Poseidon. Katanya sih, "Melakukan kemesraan di hadapan anaknya adalah tindak kejahatan yang membuyarkan kefokusan didikannya", nyatanya saya udah ngerti apa itu seksual. Aneh 'kan?"

Seterusnya, ia tak berhenti berkata. Menceritakan segala pembicaraannya dengan matang dan dipertegas. Saat itu, suatu kemilau datang, menghantamku dengan suatu perasaan. Aku tertarik kepadanya, dengan matanya yang memandang bumi tanpa mendalami geologi, mengenal rasi tanpa menunjuk galaksi, aku kagum dengan dia, Samudra. Ketika ia berbicara bahwa,

"Sejatinya, dunia gak bakal pernah diukur dari megahnya antariksa, perkasanya bumi hayati. Dunia yang saya kenal, dan selamanya akan seperti itu, ya dunia yang dipenuhi orang dengan ilmunya, dunia yang menjunjung sebuah kedudukan, dunia yang mengagungkan kawanan pembesar, padahal harusnya 'kan dunia yang dipenuhi kaum yang saling ngerti seluas dunia ada, seluas mereka ada, disitu kehidupan dunianya."

Lalu, hari berlalu. Menyisakan titik - titik ranggas kedewasaan diri. Ketika alam tak mampu berkata, ilmu tak diperdaya. Hanya ego yang dipercaya. Satu persatu kawan menghilang, tak ada kabar dari Samudra. Suatu angan jauh ke laut utara, tak pernah berbagi barang botol lautan. Aku kini berdiri, menyepi di atas bara api. Berusaha menggapai sebuah ironi, bahwa jika saja kabarnya bukan lagi kabar burung, Samudra mati.

"Kamu tahu gimana saya terbang?" 

Aku menggeleng. Melihatnya yang memandang berkeliling podium sudah menegangkan batinku. Menyiksaku akan rasa kebersamaan yang seolah ingin habis, tersedot ozon - ozon pelapis bumi.

"Kamu tahu lucid dream?"

Kali ini aku mengangguk, tersenyum seolah pembicaraan ini akan lebih berarti. Ia ikut tersenyum, aku mencelos. Sekiranya hanya beberapa pembagian yang mampu membuatnya tersenyum. Rasa kagumku mengoar, mendengking di kala pelarutan siang menjamu di atas atap - atap. Samudra bukan seseorang yang bodoh untuk diajak bermain, justru - justru orang lain yang dipermainkan.

"Saya ingin merasakannya. Kalau ukuran sleep paralyze sih, saya udah sering. Tapi, ingin nyoba lucid dream rasanya susah banget."

Aku diam, menebak - nebak kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Sampai sekarang tak ada pertanda jawaban dari 'bagaimana saya terbang'. 

"Kalau saya tiba - tiba jatuh ke bagian sleep paralyze, napas saya pun jadi jatuh, seolah gak ada harapan untuk melihat. Nah, kalau saya mengalami fase lucid, saya merasakan terbang. Terbang jauh, mengendalikan apa yang saya inginkan. Mengendalikan kalau aja dunia gak lagi bergejolak dengan barang - barang fana. Mungkin aja, saya akan senang orang tua saya gak ada di rumah, gak ninggalin saya akan sebuah penelitian yang baru. Saya bingung, seperti apa sih cinta itu?"

Aku mengeluarkan suaraku, suara yang sejatinya jarang kukendalikan. Dengan beberapa jam lalu yang memang aku tak bersuara, kali ini suaraku terdengar melejit. Sangat memalukan, "cinta? Cinta yang gimana dulu nih?"

"Cinta, cinta yang mana aja."

"Itu sih tergantung menurutku. Tergantung kamunya, ada nafsu atau enggak-"

"Saya pasti punya nafsu."

"Maksudku, nafsumu mendefinisikan kata cinta itu seperti apa dulu. Apakah cintamu dengan kedua orangtuamu-"

Ia mengangkat alisnya. Dengan ini, aku tak mengulang kata itu. Berusaha mengabaikannya. "Atau cintamu dengan... dengan, dengan siapa ya? Apa kamu pernah menyayangi seorang wanita?"

"Selalu."

"Oh- oh? Ehm, oke... Jadi- jadi kamu pilih aja yang mana cinta itu."

"Apa kamu cemburu?" Matanya memandangku, mencari kepastian di irisku balik. Aku bergeliat tak senang, sangat tak nyaman.

"Tidak."

"Oh."

"Sepertinya pembicaraan ini jadi ngelantur ya." Aku berdehem. "Aku juga udah suka sama orang lain, jadi aneh kan kalau kamu tanya cemburu."

"Oke,"

Sampai saat ini, aku tak mengerti persaannya di mana. Bagaimana ia mati, itu membuatku bergidik di kali pagi tak lagi matang. Petang menjadi perang. Malam sangatlah suram, fajar bukan suara untuk berujar. Sudah kutegaskan ke otakku, hingga seberapa gila jantungku harus kudegup. 'Samudra mati'.

Lalu sukmaku menelusuk ke parit - parit memori terselubung. Mengingatkanku akan penjamahan yang tak lagi berangsur. Akhirnya kutahu, sebuah kepastian yang telah lama hilang. 

"Kami kumpulan inkompeten yang luar biasa. Mengisahkan pada dunia bahwa kami mampu berbicara." Hari itu, Samudra menjelaskan kepadaku. Menjelaskan sesuatu yang harus kupikir berulang. "Kami kumpulan inkompeten." Timpalnya. 

"Siapa aja? Kurang jelas kalau kamu bilang 'kami' bukan 'kita'. Walau sama arti, tapi orang umum nilainya bakal beda. Siapa aja yang kamu maksud 'kami'?"

"Saya gak bilang 'kita' kok. Berarti bukan tentang saya dan kamu 'kan."

"Lalu?"

"Kemarin saya bertemu seseorang. Orang luar biasa yang kidal. Ia bercerita kepada saya mengenai Nebula Kepiting, sekumpulan sisa - sisa supernova. Oh, itu sangat mengagumkan. Ketika suatu bintang akan mengalami supernova, bintang tersebut akan melepaskan energi setara dengan energi matahari yang dilepaskan seumur hidupnya. Keren 'kan. Ledakannya bakal meruntuhkan sebagaian besar material bintang pada kecepatan 30.000 km/s atau ya mungkin 10% kecepatan cahaya, juga ngelepasin gelombang kejut yang bisa musnahin medium antarbintang. Sayangnya, rata - rata peristiwa supernova hanya 50 tahun sekali di galaksi Bima Sakti. Supernova tuh keren, ia punya peran dalam memperkaya medium antarbintang dengan elemen - elemen massa yang lebih besar. Terus, gelombang kejut supernova bisa ngebentuk formasi bintang baru." 

Aku memandang langit secara spontan. Dan tiba - tiba ia tertawa. "Ya mana ada sekarang."

"Terus kapan?"

"Emangnya saya tuhan, bukan saya 'kan yang ngendaliin. Nah, saya jadi akan berbicara ini 'kan. Maaf, saya harus berbicara sesuai keyakinan saya. Kamu jangan tersinggung. Tuhan saya, Allah SWT, berbeda denganmu. Hebatnya maha kuasa Allah, kejadian supernova pun termasuk unsur dalam menciptakan kehidupan di alam semesta. Unsur - unsur supernova melontar ke ruang angkasa. Unsur ini juga bisa pindah jauh dari tempat bintang ini meledak. Katanya, unsur itu kemudian bergabung membentuk suatu bintang baru atau bahkan planet."

Dia benar. Kepercayaan kami berbeda. Ketika aku mengagung - agungkan kitab Sutta, Vinaya, Abdhidahamma, ia dengan mulianya membacakan ayat Al - Qur'an. Ketika aku harus menekan sistem kausal yang mendalami alam semesta (pratitya samutpada) yang merupakan tatanan alam (dharma) dan sumber pencerahan. Ia akan mengerti, mendalami firman - firman tuhannya -Allah SWT. Pada ajaran kepercayaanku, tak ada ketergantungan pada realitas fenomena supranatural ditegaskan untuk menjelaskan perilaku materi. Menurut ajarannya, manusia harus mempelajari alam ( dhamma vicaya) untuk mencapai kebijaksanaan pribadi ( prajna) tentang sifat hal ( dharma). Dan entah bagaimana dia, Samudra, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. 

Kali ini aku terombang - ambing atas perkataannya, seraya bimbang menegaskan apa yang harus kudengarkan. Penjelasannya, atau tiap sorotannya. Sampai sekarang aku harus mengolah tiap pikiranku, 

Bagaimana Samudra mati. 

Bagaimana Samudra mati. 

Bagaimana Samudra mati. 

Ketika kumengingat masa kelam di antara keluarganya, aku mampu berasumsi. Apakah di situ dia mati? Jika kupikirkan ulang, rasanya sudah bertahun lamanya ia diam di antara penjelasan teori alamiah, penerapan daya pikir Auguste Comte, atau bahkan pengolahan untuk menyetarakannya menggunakan 8% otaknya seperti Albert Enstein. Atau bahkan sejenius Dimitri Mandeleev yang memeloporkan pengelompokkan unsur berdasarkan kenaikan massa atom relatifnya, ia tak beronta. Alasan itu bukanlah hal galan untuk dipermasalahkan. Tetap bagaimana kutahu, ia adalah seorang yang tabah, ia bukan orang biasa. 

Lalu, bagaimana dia mati?

Di antara ratusan teorinya, satu pilihanku yang terasa akurat. Penjelasan mengenai supernova. 

Bagaimana Samudra mati? Ia menyiratkanku sebuah makna melewati peristiwa supernova. Entah ia bisa menjadi yang mana. Namun bagiku tetap, ia adalah bintang itu. Bintang yang meledak akibat peristiwa supernova. Dia pula unsur supernova itu. Unsur yang menciptakan kehidupan di nadiku. Unsur yang membentuk bintang baru di jantungku, unsur yang bahkan membuat planet di ragaku.

Unsur yang membuatku takkan melupakannya. Bahwa, aku mencintainya.

...

Dan gilanya aku melupakan sesuatu, melupakan sebuah peristiwa pelumpuh jiwa elok Samudra. Kau tak mengerti bagaimana ia mati berpetik ranjau bergelimang darah, 

Harus kuterapkan, supernova, mahakarya indah di mata air hatta bewarta. Supernova, tatkala kuimbangkan sebuah penuturan, "supernova tuh ngebentuk, bukan dibentuk". 

Kami adalah dua roh paralel, aku dan Samudra. Wanita dan pria. Dua intisari dengan satu perkara. Di mana kami dalam peristiwa supernova? Kusadari, Samudra bintang dan unsurnya. Dan aku...

Akulah ledakannya.

....
Ngaco abis ceritanya. Maksain banget 'kan ya? Tiba - tiba dapet ide kayak gini, langsung tulis dah. Pas bagian ajaran agama Buddha itu, bolak - balik buka internet. Untung juga, ada buku kakak saya -SMA-, jadinya kalau ada beberapa hal yang lupa atau kurang yakin, bisa langsung liat. Oh ya, saya orang Islam, tapi tak ada salahnya mengikut sertakan ajaran agama lain di suatu karya. 

Selamat menikmati, tak ada perbedaan Muslim, Buddhies.

Minggu, 10 Agustus 2014

Pemabuk di Kala Petang

Kala aku diam, bukan berarti marah
Karena aku sudah sekarat parah
Luka - luka bergelinang tak tentu arah
Sungai - sungai berhilir membendung darah
Terjun mata air kala - kala berganti nanah

Bratayudha bukan lagi tentang perang
Akibat Pendawa telah menang
Segalanya hanyalah batas perjuangan
Karena Kurawa akhirnya terbentang

Dengki - dengki t'lah terasuki
Kresna jadi punggung abdi
Sampai - sampai kuterkukung abadi
Sukma bergelayut di hati
Sutta, Vinaya, Abdhidahamma kulewati
Persembahan Bromo bergaunh di tepi
jangan jangan dunia adalah kawasan api
Pelacur senja bermandi asi
Embun kali buta telah basi
Akibat gembel gembel tak butuh nasi
Air air padang jadi rektorasi
Bermegah diri di bawah nestapa kasih

Kau, yang tertidur waktu kelam siang
Terjaga saat malam terang
Kau, obor di atas jiwa padang
Bergemuruh Krakatau pada ledakan
Aku tak ingat kali kali kau ucap taranan
Kau tak punya otak untuk jadi ilmuwan
Hanya hanya intuisi yang gemilang
Kau tak menebak orian di kapan
Hanya asumsikan nebula jempolan
Biadap hatta bewarta kerasan
Kau cumbu ini jadi jeritan
Kau kecup ini jadi sabetan

Cambuk aku dan kuberteriak, "pemabuk di kala petang




Sabtu, 19 Juli 2014

Erangan di Kala Padang Mesiu

By @chynsetyo

Wanita di luar rumah,
Bergamang ria di tengah rimba
Tak satupun yang bersapa ramah,
Hanya jika saja sialnya dapatkan terkaman parah
Karena ketika wanita berjalan pasrah,
Segalanya terbang tak menentu arah
Bahkan jiwa - jiwa takkan bersuara

Anak kecil di tengah ledakan,
Mereka menangis mencari penerangan
Seluruhnya kabur bersamaan
Hilang, tenggelam pasang dari makhluk jahanam
Ketika mereka menangis dan berteriak kencang - kencang
Tak ada satupun yang mampu mendengarkan
Karenanya seluruhnya dalam pengeksekusian

Tanah - tanah tertelan bara yang tak padam
Kalut bergelut di tengah kegelisahan
Mereka serasa mati di atas awan,
Hidup di antara reruntuhan
Mereka pewakil atas tekad yang matang
Kala mata dunia menjadi satu tujuan, 
Mereka kembali menangis kencang - kencang
Tapi waktu menentukan siapa yang datang,
Dunia bergoncang, menyisakan saksi kepedihan
Merekalah korban - korban, atas segala pembelaan

Padang ranjau bukan lagi siksaan
Mesiu, timah panas bukan lagi jadi tembakan
Mereka sudah tahan, lebih dari godaan
Jika saja tak ada yang memerhatikan,
Baru kala itu rasa pedih menerjang,

Pertanyaannya dibenak saling bersilang

Kemana sebuah keadilan?
Di mana raja kebangsaan?
Apa yang mampu jadi pembalasan?
Siapa yang berani menggantikan?
Mereka berjuang, di tengah gulita malam
Namun satu perkara yang jadi harapan,
'Yang menyerang, akan dapat balasan'.

For Gaza-Palestine.