Sabtu, 19 Juli 2014

Erangan di Kala Padang Mesiu

By @chynsetyo

Wanita di luar rumah,
Bergamang ria di tengah rimba
Tak satupun yang bersapa ramah,
Hanya jika saja sialnya dapatkan terkaman parah
Karena ketika wanita berjalan pasrah,
Segalanya terbang tak menentu arah
Bahkan jiwa - jiwa takkan bersuara

Anak kecil di tengah ledakan,
Mereka menangis mencari penerangan
Seluruhnya kabur bersamaan
Hilang, tenggelam pasang dari makhluk jahanam
Ketika mereka menangis dan berteriak kencang - kencang
Tak ada satupun yang mampu mendengarkan
Karenanya seluruhnya dalam pengeksekusian

Tanah - tanah tertelan bara yang tak padam
Kalut bergelut di tengah kegelisahan
Mereka serasa mati di atas awan,
Hidup di antara reruntuhan
Mereka pewakil atas tekad yang matang
Kala mata dunia menjadi satu tujuan, 
Mereka kembali menangis kencang - kencang
Tapi waktu menentukan siapa yang datang,
Dunia bergoncang, menyisakan saksi kepedihan
Merekalah korban - korban, atas segala pembelaan

Padang ranjau bukan lagi siksaan
Mesiu, timah panas bukan lagi jadi tembakan
Mereka sudah tahan, lebih dari godaan
Jika saja tak ada yang memerhatikan,
Baru kala itu rasa pedih menerjang,

Pertanyaannya dibenak saling bersilang

Kemana sebuah keadilan?
Di mana raja kebangsaan?
Apa yang mampu jadi pembalasan?
Siapa yang berani menggantikan?
Mereka berjuang, di tengah gulita malam
Namun satu perkara yang jadi harapan,
'Yang menyerang, akan dapat balasan'.

For Gaza-Palestine.

Minggu, 13 Juli 2014

Balada di Tengah Perjalanan Dengan Pendosa Yang Berteori

By @chynsetyo


Suatu hari ketika kau berjalan lunglai dan menebus beribu siluet sekalipun, bahkan kau mampu mencerna atom sampai ke bagian terkecilnya, proton, neutron, elektron. Kau menggapai - gapai cincin - cincin asap di kasat mata dan nampak bagai rasi orion di belenggu galaksi. Karena jika kau berkata tak ada dusta yang mampu kau bayar, satu sukmanya menari dihadapan :

'Kau ada karena kau memang ada. Jadilah, bisanya kau berdiri, maka berdirilah,'

Satu - persatu sel - sel mencapai puncak, trombosit mengatur alur, organ bekerja seimbang. Suatu saatnya datang, segalanya akan terbanting jauh ke lubang terdalam. Yang kau pikirkan, sejatinya, Auguste Comte jangan menilai ini, ia sosiologi pandai yang menjiwai dunia, tak perlu ternodai dosa - dosamu yang menggunung. Akhirnya, kau tak berdaya. Terombang - ambing di tepian gulita kelam. Tak membagi diri, meletup memenuhi antar ruang. Atmosfer takkan membeda, sama seperti terakhir kau tiada.

Lalu sama bagaimananya, kau berpikir, 'Yang kutahu, hanya orang jahat yang berbuat kejahatan. Lalu alaminya, orang teladan pun mampu berbuat jahat. Karena hasrat hewani mereka akan membuas, menguji segala ilmu sebagai bahan percobaan.'

Kau pun mengerti, jiwamu tak peduli akan deduksi, induksi, otakmu bahkan tak dapat mencerna pendekatan kuantitatif. Kau bukanlah seorang informan, kau hanyalah raga berkukuh animo padan.

Karena jelasnya, kau berjalan, beriring di tiap gamang ruas - ruas tiga matra. Akibatnya, kau mati didalam perang dan pasrah saat akhir, ketika kau menyadari. 'Aku telah berjuang'.

Selasa, 08 Juli 2014

Petang

by @chynsetyo

Samudra berjalan angkuh lewati Awan yang datang tanpa salam. Langit hanya diam menunggu Bulan tertawa lebar. Bahkan Guntur tak peduli jika Hujan telat datang, Lembayung menari dengan tangannya yang menggait kabar dari Pasifik.

... : Lewati Malam, aku berjumpa Timur.

'Di pegunungan yang kelam layaknya kumengingat Awan. Kau tahu, betapa rinduku pada canda tawa Bulan. Entah sudah keberapa kali kuingat Samudra jalan. Tak peduli sangat aku akan Guntur dan Hujan, mereka membosankan. Bagaimana pagelaran Lembayung pekan? Seperti berjumpa Timur yang menyenangkan ? Oh lihatlah, dunia menakjubkan dengan Malam, bukan? Jangan bersedih kawan, Petir masih menunggu di lain peninggalan. Ingatkah kalian? Pesisir mencariku sampai ke kediaman Benua di sebrang. Itu membuatku geli bahkan Angin tak henti tertawa di hadapan. Aku merindu di sini tanpa ada Cahaya yang terang. Gelap selalu datang, menyanjungku menghibur di kapan. Namun itu tak galan, ingin aku kembali dan jumpai dunia kita yang tenang.'

Pasifik, yang berirama seiring Petang hilang.

......

a fiction to read : a Harry Potter fiction 'Bukan Terpaksa

By @chynsetyo

Neville L/Hannah A

These was no Wizard.
..

Bukan terpaksa.

Saat ia dialtair bersama anak muda Longbottom. Menunggu wajah yang berkeringat dingin disebrangnya itu menggapai lengannya. Menjemputnya dari tumpuan.

Bukan terpaksa.

Ia bersama Longbottom. Ia tak merasa, bahkan tak pernah merasa berat menghapus nama Abbot dan mengklaim dirinya sebagai Longbottom.

Ia rela sejujurnya.

Masih terpapar jelas malam pertama mereka dan simuda Longbottom bertanya. "Apakah kau terpaksa?"

Awalnya ia bingung apa maksud perkataan lelaki yang sering kehilangan percaya dirinya. Ia masih hapal pula, bagaimana ia tertawa hambar sebagai jawaban awal. "Mana mungkin, Neville. Kau pikir pernikahan hal main - main yang membuatku sebegitu tololnya beranggapan menyerahkan hidupku pada anak bego?"

Neville cukup tersinggung dengan perkataannya, namun ia terlalu canggung untuk menampiknya. "Maksudmu?"

"Aku bukan seperti Ginny yang menerima ajakan pesta dansamu sebagai tanda kasihan. Aku serius."

Memang memiliki pasangan hidup seperti Neville adalah prakara sulit, namun sisi uniknya lebih mendominasi. Terbukti dengan itu, ia yang memulai dan merangsang Neville. Ia yang kali pertama mengecup Neville dan membuat simuda Longbottom membalas.

Ia terkekeh mengingat itu, namun saat ini berbeda. Hidupnya terasa hampa. Dengan umurnya yang mencapai delapan puluh sembilan, dan pekan depan ia menggenap sembilan puluh. Biasanya, Neville Longbottom akan disampingnya. Duduk bersamanya dihalaman belakang, sesekali mengunjungi kebun atas madam Crocklin. Tapi, sekarang berbeda. Neville pergi meninggalkannya tanpa peneman. Neville tersayangnya telah berhembus jauh. 

Ulunya nyeri ketika menikam timang bahwa ia mengalami kemandulan. Segala persiapan untuk anak mereka kelak hanyalah bualan belaka. Mungkin ia yang paling terpuruk saat itu. Namun, tak bisa digelakan juga bahwa Neville ikut runduk.

"Kau masih bersamaku. Ya, masih bersamaku." Neville menenangkannya saat itu. Lalu ia bahkan tidak canggung mengecupbibir dan ceruk lehernya singkat. 

Mungkin saat itu ialah yang paling egois. Ia diamkan Neville selama beberapa hari. Bahkan ia tak peduli dengan kondisinya. Namun, saat ia lihat Neville kembali kerumah dengan perangai yang buruk, ia meluluh. Dan ia sadar. Beberapa pekan kedepannya, Nevillenya hilang.

Lagi, lagi ia menyesak. Matanya bergelinang. Tiap kali itu, ia tak kuat menyaksikan pejalan yang lewat memandangnya simpati. Seolah ialah yang paling menyedihkan diantara mereka. Ia tak terima itu. Ia marah. 

Saat ini pikirannya jauh keselubung perih. Nevillenya dulu yang berjanji akan menjunjungnya sampai keseluk beluk samudra sekalipun. Ia tertawa riang saat itu, walau usia mereka yang mencapai kepala tiga itu membuat Neville terkesan kekanakan.

Nevillenya dulu. Sangat dulu. Ia tak pernah melihat Neville Longbottom, pada awalnya. Namun, kelulusan mereka dari Cambridge membuatnya sadar Neville pun kesepian. Orang tuanya yang gila dan bahkan tak mengenalinya, nenek protektifnya yang ia ingat, bahwa telah meninggalkan Neville seutuhnya. Memang awalnya terbesit ia ingin menikah dengan simuda Longbottom hanya sebagai tanda kasihan. Tapi, ia sadar bahwa memang hatinya menggetar bersama Neville. Itu hal paling menyenangkan kali pertama ia mendengar Neville melamarnya walaupun dengan ia yang terus memancarkan kode. 

Anggap Megan Jones orang paling memilukan didunia, saat ia pertama menyurahkan prakara melamar Neville kepada teman dekatnya itu. "Menikah dengan Longbottom hal paling menyedihkan didunia."

Ia ingat saat itu ia langsung menyindir Megan Jones dan mendiaminya beberapa saat. Hanya karena Neville? "Menikah dengannya hal paling kuinginkan dari apapun didunia ini."

Sekali lagi ia menyerukan, bukan terpaksa.

Bukan terpaksa.

Bukan terpaksa.

Neville memiliki hatinya. Ia memiliki Neville lebih dari siapapun. Sudah tak ada lagi Neville yang harus dikasihaninya, hanya Neville yang harus dicintainya. Bahkan jika sampai Neville tiada, ia pergi, dunia luluh akan kisah mereka sekalipun.

Tak ada.

Karena menikah dan membagi hidup bersama Neville bukanlah hal yang harus dipaksakan.

...................................................................................................................................................Fin

Teringat film "UP". Dan akhirnya jadilah drabble singkat ini. Maaf jika kurang memuaskan. Harap menikmati, dan harap menyamankan untuk semua pembaca yang khususnya pencinta Neville/Hannah.

a fiction to read : a Harry Potter fiction 'Conversation

by @chynsetyo

These not wizard. Seamus Finnigan. Family.
.....

Permasalahan hanya perlu dibubuhi bincangan singkat. Dapat ia susun bagaimana perkataan untuk memupusi kesengitan atmosfer keluarganya. Bagaimana ia jelaskan kepada ibunya, bahwa ayahnya bukanlah seorang bajingan. Bagaimana ayahnya harus mengerti untuk mendakwai naungan sebagai kepala keluarga yang sesungguhnya.

Namun.

Ia hanya dapat menyusun. Tanpa mengutarakan. Ia bukanlah sipemberani yang rela saja membuang sisi malunya. Ia hanya penyair ulung yang bahkan tak dikenal satupun. Ia hanya pemain biola jalan untuk kesenangan belaka. Ia hanya anak muda Finnigan yang sejujurnya mereka pun tak ketahui kesalahan didalamnya.

Harusnya hanya perbincangan yang dapat membuat ibunya mengerti sibajingan itu. Harusnya hanya perbincangan yang dapat menyadarkan ayahnya untuk bertanggung jawab. Harusnya hanya perbincangan yang dapat mengucilkan permasalahan. Harusnya hanya itu.

Kemudian.

Dua puluh tahun berlalu. Umurnya sudah matang untuk mengenal kemandirian.

Tapi.

Orangtuanya meninggalkannya. Bukan hanya karena perselisihan mereka yang tak berujung. Bukan hanya debat mereka yang kembali memuncak. Namun, ini faktor belia dan renta.

Atau karma?

Ia tak tahu seberapa dosa yang harus dipertanggung jawabkan kedua orangtuanya. Mereka pergi, meninggalkan anak tunggal Finnigan tanpa belas kasih yang pokok. Tanpa membuatnya mengenal bagaimana itu keluarga yang utuh. Mereka pergi tanpa memutuskan bagaimana anaknya nanti menjalani hidup. Mereka pergi tanpa mengenal satu sama lain. Mereka pergi tanpa tahu takdir dan waktu yang berkolaborasi. Mereka tak mengerti apa itu hubungan suami istri yang sesungguhnya. Apakah tak pernah terpikir, bagaimana anaknya yang kedinginan dan berharap dapat berbincang didepan perapian?

Tidak.

Seamus Finnigan bukan sudah apa yang ia pikirkan kedepannya. Bagaimana ia iri melihat pernikahan Ernie Mcmillan dengan Susan Bones saat itu. Bagaimana orang tua Ernie Mcmillan yang menangis haru.

Ia tak pernah dapatkan itu. Sama sekali.

Haruskah ia tuntut kebijakan yang kurang berwenang? Haruskan ia ungkit segala abaian kedua orangtuanya? Terlalu banyak untuk dijabarkan.

Ibunya.

Wanita menawan itu yang membekali hidupnya. Yang membekali kebutuhan keluarga kecil mereka. Ibunya. Hanya ibunya yang menanggung berat sebagai kepala keluarga.

Ayahnya.

Bisakah ia banggai? Memang lelaki itu tidak peduli terlalu terkecuali dengan keagamaan. Namun, ayahnya tak pernah mengerti apa kebijakan yang seharusnya diembannya. Jika Seamus yang menjadi lelaki itu, sangatlah memalukan. Berlindung dibawah kediaman Finnigan yang dibinah ibunya. Memenuhi pangan dengan jerih payah ibunya.

Seamus Finnigan tahu bagaimana perbedaan watak keduanya. Ibunya yang memang seorang protektif. Ayahnya yang lebih ketidak peduli. Darah leluhur mereka sesama bernaung dinadi masing - masing.

Seamus Finnigan ingin tahu, bagaimana rasanya berkebun dihalaman belakang dengan menjunjung tinggi marga Finnigan. Seperti keluarga Burke disebrang sana.

Ia iri.

Sangat. Jika teman sekelasnya mengerti bagaimana ia sesungguhnya. Bukan hanya sebagai anak pasangan Finnigan yang tersohor. Bukan hanya sebagai anak baik yang memiliki humor rendahan. Bukan hanya anak emas kebanggaan Mrs. Borgin. Mereka harus mengerti, bahwa semunafik apa jika ia menangkal, hatinya pun memiliki dengki.

Ia tutupi kesepian kasih sayangnya dalam pergaulan lima kawan terdekatnya. Dean Thomas, Ronald Weasley, Harry Potter, Neville Longbottom dan Ernie Mcmillan. Hanya silinglung Longbottom yang mengetahui renggang keluarganya. Namun, temannya itu tak sepintar apa untuk mudah mengerti.

Dan pekan lalu, ia sudah lulus. Menaungi kelulusan dengan pujian positif sebagai tujuh lulusan terbaik Cambridge. Dulu, ia berpikir bahwa mencetak prestasi adalah hal yang mampu mendapat perhatian kedua orang tuanya. Dulu. Sekarang, orangtuanya bahkan tak dapat melihatnya mengenakan jas hitam kelulusan sekalipun.

Tak akan ada orangtuanya yang menanyainya bagaimana tipikal wanitanya. Terkadang ia berpikir kearah Megan Jones yang menarik perhatiannya, berharap dapat ia dengarkan pujian orang tuanya mengenai kecermatan pilihannya. Tapi tidak, mereka tak cukup umur untuk menemaninya saat ini.

Ia ingat ucapan Neville mengenai ini. Nadanya tetap linglung. "Kau hebat, menyukai Megan Jones."

Ia tahu, Neville lah yang mengerti kesepiannya. Dapat ia tarik kesimpulan pula jika ucapan Neville adalah hal yang membuatnya tak tersinggung.

Bisakah ia lihat kedua orangtuanya kali membagi kisah cinta antara sesama. Bahkan jika tegasannya membuat mereka melupakannya sekalipun, ia rela.

Harusnya hanya perbincangan, bukan? Ia terawang, jika sedari dulu keduanya memiliki ego yang rendah. Akankah ia kenal bagaimana canda tawa sebuah keluarga.

Jika harusnya ia yang menjadi penyair dan memainkan biola sebagai latar belakang mereka, tak apa. Asal saja itu yang menyatukan mereka.

Malam rendah diakhir Desember ini ia berenung. Harusnya ia mengerti perbincangan dapat menolak balikan semuanya. Segalanya. Harusnya ia mengenal kedua orang tuanya.

Tapi ia sadar, seperti-

Tak tahu siapa figur dua orang yang mendiami rumah indahnya.

Orangtua?

a fiction to read : Miracles of Spring

By @chynsetyo

Gelora hasrat apakah hanya dilandasi nafsu? Tidak.

Arianna Blackstrone sangat sadar apa yang terjadi. Ia hanyalah arwah yang meliput dibalik dusta fatamorgana.

Adakala ia menjelajah tiap samudra. Mencari wadah kegairahannya dalam sepi sunyi. Ia sadar apa yang terjadi.

Selamanya.

Namun, padang bunga altair megah ia memendam rasa. Dengan pakuan tangannya yang menjadi sanggahan dagu bekal tirusnya, ia terus memandang. Sosok dibawah pohon mapple itu.

Dari kejauhan pun dapat ia deskripsikan tiap lekuk menawan lelaki itu.

Surai hitam berkilaunya. Bibir tebal merahnya. Kulit pucat yang ia yakini lembut itu. Membuatnya tanpa sadar menapak kaki dibalik sosok itu bersanggah.

Mencoba mencari hal yang tak diyakininya, ia mengintip. Betapa girang dan puasnya ia, tatkala lelaki itu sontak menjauh menyadari keberadaannya.

"Maaf, aku tak tahu jika ada orang selain diriku disini. Apakah aku mengusikmu?" Arianna bahkan mencoba untuk tak meleleh. Suara lelaki dengan bahasanya yang manis mengejut Arianna dalam kesadaran.

"Eh, tidak. Tidak." Hanya itu yang terproses dalam perkataannya.

Arianna sempat bergidik. Rasionalitas baginya melintas. Dirinya hanyalah arwah tolol yang berkeliaran menerjang surut samudra. Tak mungkin lelaki dihadapannya dapat melihatnya. Walau hanya terdapat dua kemungkinan, lelaki ini arwah sama seperti dirinya. Atau seseorang dengan kemampuan supra. Indra keenam?

Lalu, berarti orang dihadapannya menyadari bahwa ia sosok yang tak disempatkan mendiami dunia dalam normal kembali?

"Greyson Filth" tak sadar lelaki dihadapannya mengulurkan tangan.

Ia bingung, semasa perjalanannya menjumpai banyak arwah yang berkeliaran lainnya, tak mungkin akan mengawali dengan berjabat tangan.

Jadi, kemungkinan pertama adalah hal pupus.

"Arianna Blackstrone" dijabatnya uluran tangan itu. Sedetik ia merasa kehangatan mengarungi dirinya. Seperti orkes yang menggelar konser dalam perutnya, ini perasaan yang lama ia rindukan.

Ia terpaku seberapa waktu. Kembali ia menyadari fakta.

Ia menapak hamparan lili putih.

Gaun langsat dengan corak kunang kembali merayap raganya yang sebelumnya tak terbungkus apapun.

Kembali ia rasakan desir darah yang kembali mengaluri nadinya.

Ia cermati tiap helai surai pirang kusamnya yang menggelitik hampa udara.

Dan ia sadari betapa lihainya hembus ringan yang menjalar rongga hidungnya.

Lalu ia gabungkan itu menjadi satu kesimpulan.

'Ia hidup kembali'.

"Keajaiban musim semi, Miss. Blackstrone" ungkap lelaki dihadapannya.

"Kau percaya itu, Mr. Filth?" Ia berupaya mencoba antusias dalam usahanya membagi perhatian antara merasa takjub takkepalang akan kebangkitannya dengan sekitar.

Ia tak sadar kini mereka berdua tengah duduk bersandar kambium batang mapple.

"Ibuku terjun kedalamnya" Mr. Filth tetap mengajukan kisahnya. Tanpa mengindahkan tatapan geli Arianna.

"Mungkin tak sepantasnya kau bercerita masa lalu dengan seorang yang pantas saja bagimu asing, Mr. Filth"

"Kupikir kau akan bersedia menjadi pendengar setia, Miss. Blackstrone"

Arianna hanya membalasnya dengan senyum pedih. Ingatan masa lalunya kembalki mengalun seperti cicit merpati rakus yang mengindah bebijian.

"Teruskan" balas Arianna.

"Ibuku adalah istri seorang epilepsi. Namun kecintaan antara kasih sayang membelegut keajaiban harmonis keluarga kami terpecah.

"Ibu dan ayahku. Menjalin tiap rasa seperti parafrase dalam bait puisi. Tapi, mereka terenggut nyawa dengan tangan saling bertaut.

"Pada saat itu kusadar tiap nyanyian ibuku dalam penghantar tidur. Ia menyertakan keajaiban musim semi. Tiap mekar padang lili, aku selalu merasakn hadir mereka. Seperti kejang ayahku dalam tawa."

"Kau merasakannya saat ini, Mr. Filth?" Hanya itu yang menjadi respon.

"Ya. Mereka memandangku saat ini" Mr. Filth memberi jedah dalam bahasanya. "Dan merekapun memandangmu."

"Aku?"

Mr. Filth mengangguk resah.

Arianna terlonjak kala lelaki itu berdiri.

Dan tanpa bahasa yang mengindahkan, berlari dengan pacu atmosfer.

Seiring dengan Arianna yang memuput cahaya keperakan. Seiring raganya yang mengabur.

Seiring dirinya kembali menjadi arwah.

.....

Arianna tak dapat memupus tiap rasa yang menguara dengan irama degup jantungnya yang hanyut.

Mr. Filth kembali disana. Berdiri.

Namun berbeda, tangan kekarnya saat ini menggenggam sebuah filsuf romawi -menurutnya seperti itu.

Arianna tak dapat menghentikan diri untuk melangkah didalam buaian atmosfer.

Sekitar beberapa meter dari tempat Greyson Filth berposisi.

Seiring dengan dirinya yang mulai mendekat, kakinya yang mulai menapak, tubuhnya yang teralir kembali berdesir. Surainya yang berperak kembali menjadi pirang kusam.

Ia hidup. Hal yang pasti akan terjadi sesaat keberadaannya dekat dengan lelaki bermarga Filth itu.

"Soal itu, kemarin kau pergi" ia memberanikan diri mendekat.

Greyson Filth hanya mengangguk.

"Ah, filosofi romawi. Kau suka itu?" Arianna mendekatkan diri.

"Seperti Athena yang mengutuk Medusa. Kepuasan timbul. Namun, ada balasan yang datang bersamaan pula. Bagaimana denganmu?"

"Peperangan ideologi mungkin 'keren'. Namun, kau akan merasakan bagaimana tiap lecutan senjata menebas jantung, dalam peperangan asli."

"Jika kudengar berdasarkan penuturanmu, kau tak menyukai kedamaian, Miss. Blackstrone?"

"Teatrika hampa tanpa drama. Violin kosong tanpa kontras rongga dan dawai."

"Penuturan yang hebat sepertinya."

.....

Mengingat tiap pekan yang ia habiskan bersama. Seperti sepasang kekasih? Tolol. Bahkan mereka tak luput untuk melepas bahasa formal.

Arianna melambai dalam diam. Diri keperakannya yang tak bias dalam dangkal sungai menimbulkan gelak kecewa dalam dirinya.

Namun, sedetik rasa itu terganti tatkala lonceng jam besar menyapa pendengarannya.

Waktu biasa yang akan ditepatinya.

Mr. Filth mungkin menunggu lama, hanya itu yang ia pikirkan.

Sesaat ia akan melayur dalam buai atmosfer.

Suara menginterupsikan dirinya. Suara yang tak dipikirkan menjadi hal paling tabu untuk beberapa waktu kedepan.

'Sudah waktunya.'

Dan dengan itu, seperti pusaran yang bergolak dalam perasaannya.

Yang bahkan akan menyisakannya dalam rasa rindu membuncah.

Sungguh seperti dosa baginya.

.....

Dirinya kembali sadar. Penglihatan yang pertama menghamburi dirinya adalah bagaimana tampang gelisah begitu mendominasi.

Pikirannya mencoba tuk mengerti apa keadaannya.

Namun seperti tak mungkin. Ia mencoba menepis ribu persetujuan. Ya.

Otaknya mengolah apa yang terjadi dengan hal yang ingin ia segerakan.

Bibirnya berkelut kalut. Namun, bukan hal biasa yang timbul.

Tak ada nada ringan yang biasanya akan menguar begitu saja. Tak ada.

Hanya rengek tak jelas yang membuatnya sadar akan perkara paling pahit baginya.

Bahkan hal yang dulu sangat didambakannya, namun bukan sekarang.

Kesempatan itu ia peroleh. Kesempatan yang bahkan dijejari oleh makhgluk lain seperti dirinya.

Reinkarnasi.


The End
...

Epilog

"Kupikir kau tak akan kesana lagi, Grey"

"Maksudmu?"

"Yeah kau tahu, semi sudah berlalu. Bukankah tak ada alasan lagi kau pergi?"

Lelaki itu mengolah tiap makna kata yang terlontar. Satu jawaban.

Benar.

"Kau mungkin takkan menghgabiskan waktu siangmu dengan berduel bersama terik musim panas. Apalagi sendirian. Sangat membosankan"

Sendirian?

Sepertimya ada kekeliruan dengan tutur kata sepupunya.

"Aku tak sendirian" ia membelaa.

"Kau gila. Sepanjang semi kau sendiri hanya berceloteh dengan angin. Yeah, aku mengerti. Ayah ibumu mengajakmu mmengobrol!"

"Jika kau sadar! Bahkan aku melewatkan kesempatan itu! Kau gila!"

"Lalu kaupikir kau bersama seorang gadis cantik dan mengobrol dengannya? Jangan bodoh Greyson Filth! Tak ada yang mau kepadang lili, bahkan!"

Ia tak mengindahkan begitu saja arti kata sendirian. "Seseorang bersamaku"

Greyson Filth berlari keluar rumahnya. Tak ada satupun penduduk desa siang ini yang melakukan kegiatan biasa.

Sendiri? Bagaimana mungkin.

Ariannna Blackstrone menemaninya.

Laju derap langkahnya melambat sesat memasuki rawa ia mencoba berhati - hati.

Tanpa berpikir inilah waktunya.

Sulur yang mengikat kayu lapuknya berpijak untuk menyeberangi deras sungai meliar.

Menariknya jatuh. Kedalam sungai.

Membuat akhir waktunya.

Dengan kecewa yang mengobar.

Dengan rasa bersalah yang bersarang entah.

Dengan penglihatannya yang mengabur.

Pendengarannya yang menuli.

Nafasnya yang mengalah pada detik - detik akhir, yang menyiksa begitu padam.

Dan terganti bayang keperakan yang mulai melayang dalam udara hampa.

Greyson Filth mati dalam tangis seorang bayi disebrang sana.

Dalam kisah yang kembali berubah.
...


Faktanya, aku mengerti bagaimana ini seperti orkes yang bergejolak dalam perutku waktu itu.

Tanpa sadar keajaiban musim semi memulai semua ini.

Keajaiban musim semi yang menyadarkanmu keberadaanku.

Keajaiban musim semi yang menyatukan kita dalam subur padang lili.

Keajaiban musim semi yang yang membuktikan ini.

Bahwa akhir tak berkata bijak.

Tak akan sekeras memihak sekutu pihak.

Kita terpisah, tanpa jejak.

....

Sungguh datar kisah yang memulai.

Bahkan tanpa sugukan kata cinta.

Tanpa rayuan yang menenangkan.

Kau tak dapat berpikir. Walau tanpa ungkapan cinta.

Bahkan manispun tak menyertai.
 
Ini seperti teatrika yang benar. Dengan drama.

Kecewa yang memendam.

Bersalah yang memburu.

Rindu yang mendatang.

Kau kabutkan ini dalam cinta, kumohon.

Cinta? Bahkan merekat tak melupus bahasan formal. Dan kemudian menyebut ini cinta?

Satu segi bedanya.

Ini bukanlah sebuah roman picisan.

Ini kebanggaan bodoh bagi mereka. Bukan sebuah peremehan.

Pada akhirnya dapat disimpulkan sesuai fakta...

Arianna Blackstrone memulai menjalani kehidupan baru dalam gejolak baru. Menjalani hidup dalam pandang baru. Menjadi seorang Hannah Mcmillan. Sungguh.

Greyson Filth meninggalkan waktu yang telah diberi. Menjadi masa lalu. Arwah yang berkelebat tanpa dasar.

Arianna Blackstrone bereinkarnasi.
Greyson Filth telah tiada.

Dan dasarnya hanyalah satu....

Mereka tak dapat disatukan dengan bijak mungkin... Namun, pertemuan singkat sungguh mengesankan. Tanpa dusta yang merenggut.

Disaat orang satu memulai hidupnya. Yang lainnya mengakhiri dan hanya dapat melihat dalam diam

Itulah prakara hidup.

Tetapi, jika kau ingin memnguak fakta yang sesungguhnya.

Siwanita mematut kata dalam otaknya tanpa ucapan.

Sipria mengoar makna dalam teriakan yang bahkan tak disadar.

"Ini bukanlah waktu yang tepat. Belum. Dan harus kau sadari sebuah hasrat gairah yang tak kuceritajan. 'Bersama kita tanpa sadar begitu. Namun, kuungkap ini dalam rasa pedih dan kepuasan kasih sayangku, untuk kebersamaan. Tak lebih"

Rabu, 02 Juli 2014

Luka di Tanah Anarki

By, @chynsetyo

Makhluk - makhluknya bersejajar membentuk diri. Karena dusta yang berbalut dengki. Makhluk - makhluknya menyapa iri. Karena ketidak taranan histori. Makhluk - makhluknya menghisap asi. Akibat sebuah intisari, di tengah spekulasi.

Budak - budak berbagi kasih. Saling menjahati, karena sebuah presepsi. 

Nada - nadanya tak lagi serasi. Karena segalanya mati. Akibat luka di tanah anarki.