By @chynsetyo
Gelora hasrat apakah hanya dilandasi nafsu? Tidak.
Arianna Blackstrone sangat sadar apa yang terjadi. Ia hanyalah arwah yang meliput dibalik dusta fatamorgana.
Adakala ia menjelajah tiap samudra. Mencari wadah kegairahannya dalam sepi sunyi. Ia sadar apa yang terjadi.
Selamanya.
Namun, padang bunga altair megah ia memendam rasa. Dengan pakuan tangannya yang menjadi sanggahan dagu bekal tirusnya, ia terus memandang. Sosok dibawah pohon mapple itu.
Dari kejauhan pun dapat ia deskripsikan tiap lekuk menawan lelaki itu.
Surai hitam berkilaunya. Bibir tebal merahnya. Kulit pucat yang ia yakini lembut itu. Membuatnya tanpa sadar menapak kaki dibalik sosok itu bersanggah.
Mencoba mencari hal yang tak diyakininya, ia mengintip. Betapa girang dan puasnya ia, tatkala lelaki itu sontak menjauh menyadari keberadaannya.
"Maaf, aku tak tahu jika ada orang selain diriku disini. Apakah aku mengusikmu?" Arianna bahkan mencoba untuk tak meleleh. Suara lelaki dengan bahasanya yang manis mengejut Arianna dalam kesadaran.
"Eh, tidak. Tidak." Hanya itu yang terproses dalam perkataannya.
Arianna sempat bergidik. Rasionalitas baginya melintas. Dirinya hanyalah arwah tolol yang berkeliaran menerjang surut samudra. Tak mungkin lelaki dihadapannya dapat melihatnya. Walau hanya terdapat dua kemungkinan, lelaki ini arwah sama seperti dirinya. Atau seseorang dengan kemampuan supra. Indra keenam?
Lalu, berarti orang dihadapannya menyadari bahwa ia sosok yang tak disempatkan mendiami dunia dalam normal kembali?
"Greyson Filth" tak sadar lelaki dihadapannya mengulurkan tangan.
Ia bingung, semasa perjalanannya menjumpai banyak arwah yang berkeliaran lainnya, tak mungkin akan mengawali dengan berjabat tangan.
Jadi, kemungkinan pertama adalah hal pupus.
"Arianna Blackstrone" dijabatnya uluran tangan itu. Sedetik ia merasa kehangatan mengarungi dirinya. Seperti orkes yang menggelar konser dalam perutnya, ini perasaan yang lama ia rindukan.
Ia terpaku seberapa waktu. Kembali ia menyadari fakta.
Ia menapak hamparan lili putih.
Gaun langsat dengan corak kunang kembali merayap raganya yang sebelumnya tak terbungkus apapun.
Kembali ia rasakan desir darah yang kembali mengaluri nadinya.
Ia cermati tiap helai surai pirang kusamnya yang menggelitik hampa udara.
Dan ia sadari betapa lihainya hembus ringan yang menjalar rongga hidungnya.
Lalu ia gabungkan itu menjadi satu kesimpulan.
'Ia hidup kembali'.
"Keajaiban musim semi, Miss. Blackstrone" ungkap lelaki dihadapannya.
"Kau percaya itu, Mr. Filth?" Ia berupaya mencoba antusias dalam usahanya membagi perhatian antara merasa takjub takkepalang akan kebangkitannya dengan sekitar.
Ia tak sadar kini mereka berdua tengah duduk bersandar kambium batang mapple.
"Ibuku terjun kedalamnya" Mr. Filth tetap mengajukan kisahnya. Tanpa mengindahkan tatapan geli Arianna.
"Mungkin tak sepantasnya kau bercerita masa lalu dengan seorang yang pantas saja bagimu asing, Mr. Filth"
"Kupikir kau akan bersedia menjadi pendengar setia, Miss. Blackstrone"
Arianna hanya membalasnya dengan senyum pedih. Ingatan masa lalunya kembalki mengalun seperti cicit merpati rakus yang mengindah bebijian.
"Teruskan" balas Arianna.
"Ibuku adalah istri seorang epilepsi. Namun kecintaan antara kasih sayang membelegut keajaiban harmonis keluarga kami terpecah.
"Ibu dan ayahku. Menjalin tiap rasa seperti parafrase dalam bait puisi. Tapi, mereka terenggut nyawa dengan tangan saling bertaut.
"Pada saat itu kusadar tiap nyanyian ibuku dalam penghantar tidur. Ia menyertakan keajaiban musim semi. Tiap mekar padang lili, aku selalu merasakn hadir mereka. Seperti kejang ayahku dalam tawa."
"Kau merasakannya saat ini, Mr. Filth?" Hanya itu yang menjadi respon.
"Ya. Mereka memandangku saat ini" Mr. Filth memberi jedah dalam bahasanya. "Dan merekapun memandangmu."
"Aku?"
Mr. Filth mengangguk resah.
Arianna terlonjak kala lelaki itu berdiri.
Dan tanpa bahasa yang mengindahkan, berlari dengan pacu atmosfer.
Seiring dengan Arianna yang memuput cahaya keperakan. Seiring raganya yang mengabur.
Seiring dirinya kembali menjadi arwah.
.....
Arianna tak dapat memupus tiap rasa yang menguara dengan irama degup jantungnya yang hanyut.
Mr. Filth kembali disana. Berdiri.
Namun berbeda, tangan kekarnya saat ini menggenggam sebuah filsuf romawi -menurutnya seperti itu.
Arianna tak dapat menghentikan diri untuk melangkah didalam buaian atmosfer.
Sekitar beberapa meter dari tempat Greyson Filth berposisi.
Seiring dengan dirinya yang mulai mendekat, kakinya yang mulai menapak, tubuhnya yang teralir kembali berdesir. Surainya yang berperak kembali menjadi pirang kusam.
Ia hidup. Hal yang pasti akan terjadi sesaat keberadaannya dekat dengan lelaki bermarga Filth itu.
"Soal itu, kemarin kau pergi" ia memberanikan diri mendekat.
Greyson Filth hanya mengangguk.
"Ah, filosofi romawi. Kau suka itu?" Arianna mendekatkan diri.
"Seperti Athena yang mengutuk Medusa. Kepuasan timbul. Namun, ada balasan yang datang bersamaan pula. Bagaimana denganmu?"
"Peperangan ideologi mungkin 'keren'. Namun, kau akan merasakan bagaimana tiap lecutan senjata menebas jantung, dalam peperangan asli."
"Jika kudengar berdasarkan penuturanmu, kau tak menyukai kedamaian, Miss. Blackstrone?"
"Teatrika hampa tanpa drama. Violin kosong tanpa kontras rongga dan dawai."
"Penuturan yang hebat sepertinya."
.....
Mengingat tiap pekan yang ia habiskan bersama. Seperti sepasang kekasih? Tolol. Bahkan mereka tak luput untuk melepas bahasa formal.
Arianna melambai dalam diam. Diri keperakannya yang tak bias dalam dangkal sungai menimbulkan gelak kecewa dalam dirinya.
Namun, sedetik rasa itu terganti tatkala lonceng jam besar menyapa pendengarannya.
Waktu biasa yang akan ditepatinya.
Mr. Filth mungkin menunggu lama, hanya itu yang ia pikirkan.
Sesaat ia akan melayur dalam buai atmosfer.
Suara menginterupsikan dirinya. Suara yang tak dipikirkan menjadi hal paling tabu untuk beberapa waktu kedepan.
'Sudah waktunya.'
Dan dengan itu, seperti pusaran yang bergolak dalam perasaannya.
Yang bahkan akan menyisakannya dalam rasa rindu membuncah.
Sungguh seperti dosa baginya.
.....
Dirinya kembali sadar. Penglihatan yang pertama menghamburi dirinya adalah bagaimana tampang gelisah begitu mendominasi.
Pikirannya mencoba tuk mengerti apa keadaannya.
Namun seperti tak mungkin. Ia mencoba menepis ribu persetujuan. Ya.
Otaknya mengolah apa yang terjadi dengan hal yang ingin ia segerakan.
Bibirnya berkelut kalut. Namun, bukan hal biasa yang timbul.
Tak ada nada ringan yang biasanya akan menguar begitu saja. Tak ada.
Hanya rengek tak jelas yang membuatnya sadar akan perkara paling pahit baginya.
Bahkan hal yang dulu sangat didambakannya, namun bukan sekarang.
Kesempatan itu ia peroleh. Kesempatan yang bahkan dijejari oleh makhgluk lain seperti dirinya.
Reinkarnasi.
The End
...
Epilog
"Kupikir kau tak akan kesana lagi, Grey"
"Maksudmu?"
"Yeah kau tahu, semi sudah berlalu. Bukankah tak ada alasan lagi kau pergi?"
Lelaki itu mengolah tiap makna kata yang terlontar. Satu jawaban.
Benar.
"Kau mungkin takkan menghgabiskan waktu siangmu dengan berduel bersama terik musim panas. Apalagi sendirian. Sangat membosankan"
Sendirian?
Sepertimya ada kekeliruan dengan tutur kata sepupunya.
"Aku tak sendirian" ia membelaa.
"Kau gila. Sepanjang semi kau sendiri hanya berceloteh dengan angin. Yeah, aku mengerti. Ayah ibumu mengajakmu mmengobrol!"
"Jika kau sadar! Bahkan aku melewatkan kesempatan itu! Kau gila!"
"Lalu kaupikir kau bersama seorang gadis cantik dan mengobrol dengannya? Jangan bodoh Greyson Filth! Tak ada yang mau kepadang lili, bahkan!"
Ia tak mengindahkan begitu saja arti kata sendirian. "Seseorang bersamaku"
Greyson Filth berlari keluar rumahnya. Tak ada satupun penduduk desa siang ini yang melakukan kegiatan biasa.
Sendiri? Bagaimana mungkin.
Ariannna Blackstrone menemaninya.
Laju derap langkahnya melambat sesat memasuki rawa ia mencoba berhati - hati.
Tanpa berpikir inilah waktunya.
Sulur yang mengikat kayu lapuknya berpijak untuk menyeberangi deras sungai meliar.
Menariknya jatuh. Kedalam sungai.
Membuat akhir waktunya.
Dengan kecewa yang mengobar.
Dengan rasa bersalah yang bersarang entah.
Dengan penglihatannya yang mengabur.
Pendengarannya yang menuli.
Nafasnya yang mengalah pada detik - detik akhir, yang menyiksa begitu padam.
Dan terganti bayang keperakan yang mulai melayang dalam udara hampa.
Greyson Filth mati dalam tangis seorang bayi disebrang sana.
Dalam kisah yang kembali berubah.
...
Faktanya, aku mengerti bagaimana ini seperti orkes yang bergejolak dalam perutku waktu itu.
Tanpa sadar keajaiban musim semi memulai semua ini.
Keajaiban musim semi yang menyadarkanmu keberadaanku.
Keajaiban musim semi yang menyatukan kita dalam subur padang lili.
Keajaiban musim semi yang yang membuktikan ini.
Bahwa akhir tak berkata bijak.
Tak akan sekeras memihak sekutu pihak.
Kita terpisah, tanpa jejak.
....
Sungguh datar kisah yang memulai.
Bahkan tanpa sugukan kata cinta.
Tanpa rayuan yang menenangkan.
Kau tak dapat berpikir. Walau tanpa ungkapan cinta.
Bahkan manispun tak menyertai.
Ini seperti teatrika yang benar. Dengan drama.
Kecewa yang memendam.
Bersalah yang memburu.
Rindu yang mendatang.
Kau kabutkan ini dalam cinta, kumohon.
Cinta? Bahkan merekat tak melupus bahasan formal. Dan kemudian menyebut ini cinta?
Satu segi bedanya.
Ini bukanlah sebuah roman picisan.
Ini kebanggaan bodoh bagi mereka. Bukan sebuah peremehan.
Pada akhirnya dapat disimpulkan sesuai fakta...
Arianna Blackstrone memulai menjalani kehidupan baru dalam gejolak baru. Menjalani hidup dalam pandang baru. Menjadi seorang Hannah Mcmillan. Sungguh.
Greyson Filth meninggalkan waktu yang telah diberi. Menjadi masa lalu. Arwah yang berkelebat tanpa dasar.
Arianna Blackstrone bereinkarnasi.
Greyson Filth telah tiada.
Dan dasarnya hanyalah satu....
Mereka tak dapat disatukan dengan bijak mungkin... Namun, pertemuan singkat sungguh mengesankan. Tanpa dusta yang merenggut.
Disaat orang satu memulai hidupnya. Yang lainnya mengakhiri dan hanya dapat melihat dalam diam
Itulah prakara hidup.
Tetapi, jika kau ingin memnguak fakta yang sesungguhnya.
Siwanita mematut kata dalam otaknya tanpa ucapan.
Sipria mengoar makna dalam teriakan yang bahkan tak disadar.
"Ini bukanlah waktu yang tepat. Belum. Dan harus kau sadari sebuah hasrat gairah yang tak kuceritajan. 'Bersama kita tanpa sadar begitu. Namun, kuungkap ini dalam rasa pedih dan kepuasan kasih sayangku, untuk kebersamaan. Tak lebih"