Selasa, 08 Juli 2014

a fiction to read : a Harry Potter fiction 'Conversation

by @chynsetyo

These not wizard. Seamus Finnigan. Family.
.....

Permasalahan hanya perlu dibubuhi bincangan singkat. Dapat ia susun bagaimana perkataan untuk memupusi kesengitan atmosfer keluarganya. Bagaimana ia jelaskan kepada ibunya, bahwa ayahnya bukanlah seorang bajingan. Bagaimana ayahnya harus mengerti untuk mendakwai naungan sebagai kepala keluarga yang sesungguhnya.

Namun.

Ia hanya dapat menyusun. Tanpa mengutarakan. Ia bukanlah sipemberani yang rela saja membuang sisi malunya. Ia hanya penyair ulung yang bahkan tak dikenal satupun. Ia hanya pemain biola jalan untuk kesenangan belaka. Ia hanya anak muda Finnigan yang sejujurnya mereka pun tak ketahui kesalahan didalamnya.

Harusnya hanya perbincangan yang dapat membuat ibunya mengerti sibajingan itu. Harusnya hanya perbincangan yang dapat menyadarkan ayahnya untuk bertanggung jawab. Harusnya hanya perbincangan yang dapat mengucilkan permasalahan. Harusnya hanya itu.

Kemudian.

Dua puluh tahun berlalu. Umurnya sudah matang untuk mengenal kemandirian.

Tapi.

Orangtuanya meninggalkannya. Bukan hanya karena perselisihan mereka yang tak berujung. Bukan hanya debat mereka yang kembali memuncak. Namun, ini faktor belia dan renta.

Atau karma?

Ia tak tahu seberapa dosa yang harus dipertanggung jawabkan kedua orangtuanya. Mereka pergi, meninggalkan anak tunggal Finnigan tanpa belas kasih yang pokok. Tanpa membuatnya mengenal bagaimana itu keluarga yang utuh. Mereka pergi tanpa memutuskan bagaimana anaknya nanti menjalani hidup. Mereka pergi tanpa mengenal satu sama lain. Mereka pergi tanpa tahu takdir dan waktu yang berkolaborasi. Mereka tak mengerti apa itu hubungan suami istri yang sesungguhnya. Apakah tak pernah terpikir, bagaimana anaknya yang kedinginan dan berharap dapat berbincang didepan perapian?

Tidak.

Seamus Finnigan bukan sudah apa yang ia pikirkan kedepannya. Bagaimana ia iri melihat pernikahan Ernie Mcmillan dengan Susan Bones saat itu. Bagaimana orang tua Ernie Mcmillan yang menangis haru.

Ia tak pernah dapatkan itu. Sama sekali.

Haruskah ia tuntut kebijakan yang kurang berwenang? Haruskan ia ungkit segala abaian kedua orangtuanya? Terlalu banyak untuk dijabarkan.

Ibunya.

Wanita menawan itu yang membekali hidupnya. Yang membekali kebutuhan keluarga kecil mereka. Ibunya. Hanya ibunya yang menanggung berat sebagai kepala keluarga.

Ayahnya.

Bisakah ia banggai? Memang lelaki itu tidak peduli terlalu terkecuali dengan keagamaan. Namun, ayahnya tak pernah mengerti apa kebijakan yang seharusnya diembannya. Jika Seamus yang menjadi lelaki itu, sangatlah memalukan. Berlindung dibawah kediaman Finnigan yang dibinah ibunya. Memenuhi pangan dengan jerih payah ibunya.

Seamus Finnigan tahu bagaimana perbedaan watak keduanya. Ibunya yang memang seorang protektif. Ayahnya yang lebih ketidak peduli. Darah leluhur mereka sesama bernaung dinadi masing - masing.

Seamus Finnigan ingin tahu, bagaimana rasanya berkebun dihalaman belakang dengan menjunjung tinggi marga Finnigan. Seperti keluarga Burke disebrang sana.

Ia iri.

Sangat. Jika teman sekelasnya mengerti bagaimana ia sesungguhnya. Bukan hanya sebagai anak pasangan Finnigan yang tersohor. Bukan hanya sebagai anak baik yang memiliki humor rendahan. Bukan hanya anak emas kebanggaan Mrs. Borgin. Mereka harus mengerti, bahwa semunafik apa jika ia menangkal, hatinya pun memiliki dengki.

Ia tutupi kesepian kasih sayangnya dalam pergaulan lima kawan terdekatnya. Dean Thomas, Ronald Weasley, Harry Potter, Neville Longbottom dan Ernie Mcmillan. Hanya silinglung Longbottom yang mengetahui renggang keluarganya. Namun, temannya itu tak sepintar apa untuk mudah mengerti.

Dan pekan lalu, ia sudah lulus. Menaungi kelulusan dengan pujian positif sebagai tujuh lulusan terbaik Cambridge. Dulu, ia berpikir bahwa mencetak prestasi adalah hal yang mampu mendapat perhatian kedua orang tuanya. Dulu. Sekarang, orangtuanya bahkan tak dapat melihatnya mengenakan jas hitam kelulusan sekalipun.

Tak akan ada orangtuanya yang menanyainya bagaimana tipikal wanitanya. Terkadang ia berpikir kearah Megan Jones yang menarik perhatiannya, berharap dapat ia dengarkan pujian orang tuanya mengenai kecermatan pilihannya. Tapi tidak, mereka tak cukup umur untuk menemaninya saat ini.

Ia ingat ucapan Neville mengenai ini. Nadanya tetap linglung. "Kau hebat, menyukai Megan Jones."

Ia tahu, Neville lah yang mengerti kesepiannya. Dapat ia tarik kesimpulan pula jika ucapan Neville adalah hal yang membuatnya tak tersinggung.

Bisakah ia lihat kedua orangtuanya kali membagi kisah cinta antara sesama. Bahkan jika tegasannya membuat mereka melupakannya sekalipun, ia rela.

Harusnya hanya perbincangan, bukan? Ia terawang, jika sedari dulu keduanya memiliki ego yang rendah. Akankah ia kenal bagaimana canda tawa sebuah keluarga.

Jika harusnya ia yang menjadi penyair dan memainkan biola sebagai latar belakang mereka, tak apa. Asal saja itu yang menyatukan mereka.

Malam rendah diakhir Desember ini ia berenung. Harusnya ia mengerti perbincangan dapat menolak balikan semuanya. Segalanya. Harusnya ia mengenal kedua orang tuanya.

Tapi ia sadar, seperti-

Tak tahu siapa figur dua orang yang mendiami rumah indahnya.

Orangtua?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar